Ada Karena Meniadakan

by: Galang Swatantra Ekajati


Kali ini di warung mbak Nur. Seperti yang sudah sudah Mbah Dul, Kang Marto Becak dan aku sedang ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati kopi panas kami. Sementara Kang Sumadi Jembut tidak nongol sejak tadi sore.

Kang Marto mengawali obrolan kali ini, “Lha iya to mbah, bangsa kita ini kan seharusnya tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain. Disini juga banyak kok orang-orang pinter. Buktinya di berita tipi kemaren siswa-siswa kita mendapat medali emas olimpiade fisika internasional. Terus di Indonesia ini kan buanyak itu ahli-ahli ekonomi, ahli-ahli politik, pakar-pakar IPTEK dan pakar-pakar yang lain yang pinternya ‘ngadubilah’ sampe sampe kalo pas dia ngomong, aku yang wong rakyat biasa yang goblok ini susah memahami. Tapi keadaan bangsa ini kok gak menjadi lebih baik to mbah?”

Mbah Dul dan aku terdiam merasakan dan mencerna kegelisahan Kang Marto yang juga kegelisahanku dan aku yakin merupakan kegelisahan Mbah Dul juga.

Kang Marto Becak yang bukan tukang becak melainkan petani ini melanjutkan, “berkali-kali gonta dan ganti pemimpin tapi tetep saja pupuk mahal, pengangguran meningkat, korupsi meraja lela, praktik-praktik premanisme dimana-mana, dari atasan sampe bawahan, yang berkuasa menginjak yang lemah, yang lemah saling sikut dengan saudaranya yang sama-sama lemah, TKI gak kelar-kelar urusannya, perkosaan disana sini, pelecehan dimana mana…”.


Kang Marto terhenti, untuk mengambil napas yang sudah mulai tersengal. “Apa sebenarnya tidak pada tempatnya Mbah?”, ucapnya sambil menghirup kopinya.

Kening Mbah Dul berkerut kerut dan memandang ke arahku, kemudian dia melemparkan pertanyaan Kang Marto kepadaku, “Gimana Mas Bibit? Sampean yang mahasiswa tentu lebig bisa menjawab dari pada mbah?!”.

Mendapat lemparan itu aku seketika gugup. Tidak biasanya Mbah Dul melempar pertanyaan untuk ku jawab seperti ini. Aku menunduk mencoba menguasai diri. “Mungkin saja ini berawal dari ke-tidak-tahu-diri-an kita sebagai bangsa”. Aku mencoba membuka kata-kata. “Menurutku kalau kita ingin menjadi bangsa yang besar, yang terpenting sebelum melangkah adalah mengenal diri sendiri dengan baik terlebih dahulu”.

Kening Mbah Dul masih berkerut-kerut, sementara Kang Marto langsung melontarkan pertanyaan, “Maksudmu?”.

Aku menarik napas. “Mungkin benar apa yang ditulis sebuah buku yang belum lama ini kubaca. Bahwa tanpa sadar kita telah meninggalkan carapandang – carapandang ke-timur-an kita. Dalam buku tersebut disebut dengan local wisdom yang seharusnya itu menjadi karakter kebangsaan kita. Itulah kusebut ke-tidak-tahu-diri-an kita”.

“Dan yang Kang Marto sebut-sebut sebagai ‘orang-orang pinter’ di awal tadi adalah lebih cenderung kepada orang-orang yang tak paham carapandang-carapandang ke-timur-an itu. Bagaimana tidak, sejak mereka masih di taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, mereka dijejali dengan carapandang-carapandang barat. Itu tak mungkin dihindari karena memang kiblat pendidikan kita adalah itu.”

“Sementara Pancasila yang menurut buku yang kubaca itu adalah merupakan rumusan yang paling cocok dengan ke-timur-an kita, sudah lama tak kita pelajari dan kita laksanakan. Banyak contoh yang bias disebut untuk itu”

Kang Marto memotong, “Sebentar dik, memangnya yang barat itu bagaimana yang timur itu bagaimana?”. Aku melirik ke Kang Marto kemudian tunduk kembali dan melanjutkan, “Timur dan Barat, ini hanya sebutan untuk mempermudah kita untuk membedakan saja, seperti kita ketahui batas-batas seperti itu sangat lentur sifatnya, ini tentu berbeda. Barat yang antroposentris berkeyakinan bahwa manusialah yang menjadi pusat dari alam semesta dengan asumsi manusia dibekali kelebihan akal yang tidak dipunyai yang lain. Ini sangat memungkinkan kita untuk terpeleset kepada arogansi. Barat yang materialistic menuntun kita mampu mengukur segala sesuatu dengan materi. Dan tentu saja yang kumaksud dengan materi tidak melulu berpengertian uang. Kemudian Barat yang parsial perspektifistic, cara pandang seperti ini memang mensyaratkan untuk menegasikan perspektif yang lain. Pun kalau tak dilupakan ya diposisikan pada bidang yang sama sekali lain sebagai yang lain”.“Kemudian barat dengan sifat linearistic nya menjadikan manusia-manusianya seperti layaknya mesin yang kaku dan sebenarnya getas. Tak heran jika krisis global tahun ini membuat mereka banyak yang bunuh diri, sementa wak jo wak min yang notabene tak pernah mengenyam pendidikan yang terlalu tinggi masih ‘meteges’ meskipun sempat misuh misuh juga dengan kenaikan bahan pokok sebagai efek dari krisis global ini”.

Aku masih tertunduk sembari mencoba bisa menjelaskan secara runtut, “Sementara di timur, pola kebijaksanaannya berbeda. Disini lebih bersifat cyclical cicular, maksudnya, orang-orang timur melihat sesuatu realitas dengan mengelilinginya seperti halnya orang thawaf mengelilingi ka’bah. Sehingga menjadikan mereka memiliki carapandang yang lebih menyeluruh dari suatu obyek realitas. Namun memang harus diakui bahwa pola-pola seperti ini menjadikan orang-orang timur tidak begitu mudah mengambil suatu ‘kesimpulan’ dari suatu realitas yang dipandangnya. Akan tetapi dalam cara pandang ini menurutku cara mengukurnya bukan jauh dekat, kemajuan atau kemunduran dalam garis horisantal tetapi mengukurnya denga kemendalaman atau ketinggian dalam garis vertical. Karena semakin banyak/sering sang subyek mengelilingi obyek maka semakin dalam atau tinggilah pengetahuannya tentang realitas obyek tersebut. Meskipun kata obyek disini menurutku tidaklah terlalu tepat, sebab carapandang timur sebenarnya melampaui cara pandang yang antroposentris yang tak hanya menganggap manusia sebagai subyek dan yang lain obyek, tetapi lebih melihat yang lain sebagai subyek juga masing-masing mengelilingi sang realitas dengan polanya masing-masing. Carapandang sepeti ini menjadikan kita mengakui realitas lain sehingga manusia timur lebih memiliki kesadaran untuk selalu menjaga keselarasan diri dengan subyek realitas di luar dirinya, semisal alam. Kesadaran seperti ini menggiring pelakunya untuk lebih rendah hati, menghargai dengan yang lain.”

“sialnya mbah, anak-anak mu ini yang sekarang jadi pemimpin, adalah produk produk dari cetakan barat itu sehingga tak percaya diri dengan ke-timurt-an nya”.


Kemudian mbah dul berbicara setelah sekian lama bungkam, “Dan kamu ingin menyampaikan bahwa cetakan barat inilah yang menjadikan mereka koruptor, preman, pemerkosa hak hak rakyat? Cetakan barat inilah yang menjadikan mereka orang bodoh akan ke-diri-an nya namun sombong dan pongah dengan menjadi diri lain? Cetakan barat inilah yang menjadikan kebijakan yang mereka terapkan menjadi mentah dan tak sampai sasaran? Sehingga keadaan bangsa kita ini tidak pernah menjadi lebih baik seperti yang dikeluhkan Kang Marto? Dan apakah kau mau bilang bahwa cetakan barat inilah yang menjadikan Indonesia bukanlah Indonesia?”


Aku makin tertunduk mendengar kata-kata mbah Dul. “Aku tida mau gegabah mengatakan yang timur lebih baik daripada yang barat, mbah, tapi bagaimanapun antara timur dan barat haruslah saling mengaca. Terlebih orang-orang Indonesia harus sering sering mengaca pada ketimurannya”.

“Aku hanya ingin mengatakan, pada tingkatan tertentu, cara pandang barat yang kita banggakan ini menjadikan kita ‘ada’ dengan ‘meniadakan’ yang lain”.


Mbah Dul manggut-manggut dan aku tetapp tertunduk. Dan ketika ku lirik Kang Marto, ternyata dia sudah tertidur pulas sekali di atas ‘lincak’ warung mbak Nur.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani