Kyai Jalal, Kyai Durrakeman, Kyai Dulghani: heboh aliran sesat.

by: Galang Swatantra Ekajati

Beberapa bulan terakhir di kampung saya dihebohkan aliran sesat. Seluruh warga kampungku kecuali yang tidak, berbondong-bondong ke rumah saya. Ada yang membawa celurit, parang, bensin, minyak tanah, kemarahan terhadap sesuatu telah membuat mereka gusar dan kelihatannya mereka ingin melakukan sesuatu yang berbau kekerasan atau anarki.
Sesampainya di depan rumah ku salah seorang dari mereka berteriak, “Ustadz…kenapa ustadz diam saja. Kampung kita telah tercoreng dengan keberadaan aliran sesat, kenapa unstadz masih diam saja”. “Hancurkan.. …Bakar. …Habisi saja mereka….” sahut beberapa orang yang lain.

Oia sebelumnya saya harus cerita, paska menikah dengan anak kyai, penampilanku yang semula dekil, gak pernah mandi, selenge’an, bau, bahkan lebih seperti korak, kini saya lebih rapih, kemana-mana berbaju putih pake kopyah dan berjenggot bukan karena apa apa hanya karena belum sempat bercukur saja, dan paska menikah dengan anak kyai, warga kampung sepakat meski itu kesepakatan tak tertulis, untuk menjadikan saya ustadz di kampungku. Sungguh itu adalah kesepakatan yang membabi buta dan menggelikan bagiku.
Dan warga kampungku kali ini menuntut saya untuk turun tangan menghabisi aliran sesat yang memasuki desa kami.
Kuputuskan untuk menenangkan mereka. “Tenang sodara-sodara tenang…” kataku. “Tenang gimana pak ustadz…” sahut si karto -aku tahu karto ini kesehariannya adu jago, maen, dan minum meski saya juga tak pernah telat mengikuti sholat berjamaah di masjid ataupun mengikuti acara pengajian- “kampung kita ini sudah dicemari…bukan hanya kampung kita, tapi agama kita… . Betul sodara-sodara” lanjut karto.
“Sodara-sodara tenang dulu…” aku menenangkan mereka, sebenarnya lebih tepat dibilang saya juga bingung harus bagaimana.
“Kalo ustadz diam saja biar kami yang turun tangan…” kata Karto. “Sodara-sodara tenang dulu biarlah yang berwenang yang mengurus semua ini…” kataku. “Baiklah kalo begitu, jika sampai nanti sebelum isya’ pak ustadz atau ‘yang berwenang’ tak turun tangan, maka kami yang akan turun tangan…” gertak Karto yang diamini seluruh warga.
Akhirnya warga kampungku bubar untuk sementara.
Dalam kebingunganku tentang masalah ini saya pun sowan kembali kepada ketiga guru ku.
Yang pertama kepada kyai Jalal, saya menyampaikan kebingungan saya, seperti biasa cemoohan dan ludah yang menyambut muka saya. Dan beliau berkata, “Raimu kuwi elek, meski kamu pake syurban, jenggot, jubah putih-putih nek dasare raimu elek yo tetep raimu elek…” (wajahmu itu jelek, walaupun kamu pake syurban, jenggot, jubah putih-putih kalau dasarnya mukamu jelek ya tetap jelek). Aku mencoba menangkap sasmita dari ucapannya, tapi tak berhasil. Aku berpikir dan mencoba menangkap arah pembicaraannya. Mungkinkah beliau hanya mengomentari penampilan saya saja, yang kali ini agak berbeda daripada ketika saya sowan pada beliau dulu?. “Wes muliho kono…nyepet- nyepeti moto”
Aku beranjak pergi sebelum sempat dipersilakan masuk. Akupun bergegas untuk sowan ke pada kyai durrakeman. Seperti yang sudah sudah , aku disambut dengan ramah disana. Setelah kusampaikan kebingunganku, Beliau menjawab dengan penuh wibawa, “Fi qulubihim marodlun fazadahumullohu marodlo (Di dalam hati mereka ada penyakit dan Allah menambahi penyakit itu). Yang satu sesat teologis, lainnya sesat sosial”. Aku sedikit terang dengan penjelasan kyai durrakeman. Tapi aku tak berhenti disitu, aku lanjutkan ke Kyai DulGhani.
Dengan gaya nya yang gak-agak cuek Kyai DulGhani menyambutku, “Masalah Aliran sesat?” dia nyeroscos. “Iya kyai…” jawabku. Kemudian kyai DulGhani berkata, “Ketoke (kelihatannya) sing mbok arani aliran sesat iku sanggup menghadapi tantangannya sendiri. Aku ra iso ngobati saben saben wong sing loro (aku tak bisa mengobati setiap orang yang sakit). Lagian wonge seng loro dewe ora njaluk diobati. Kecuali aku duwe wewenang”.
Akhirnya aku pulang sudah larut malam lebih dari sebelum isya’ yang dikatakan karto dan kawan-kawan. Dan kulihat dari kejauhan masjid yang mereka sebut sesat itu di bakar dan dihancurkan. Hatiku berdesir.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani