Tirakatan

oleh: Galang Swatantra Ekajati

Beberapa hari yang lalu mbah Dul didatangi beberapa warga kampung kami yang sedang gusar. Mbah Dul sebagai sesepuh kampung kata-katanya seringkali dijadikan acuan warga kampung. Tidak hanya wak jo wak min yang pernah datang ke rumah beliau untuk sekedar ngobrol dan numpang ngopi gratis tapi pak lurah dan pejabat kampung kami, biasanya untuk 'curhat' thethek bengek urusan mereka. Aku yang kebetulan sedang ngobrol di rumah mbah Dul dengan Kang Marto Becak pun jadi ikut-ikutan terkaget-kaget.

Sebagai tuan rumah Mbah Dul menyambut dengan ramah kedatangan mereka. Setelah tamu tamu yang rata-rata masih berusia muda ini dipersilakan duduk, tak selang berapa lama Mbah Dul memahami maksud kedatangan mereka.

"jadi ini mengenai pemilihan kepala kampung kita?" tangkap mbah Dul. "kita ini lepas dari cengkeraman singa masuk mulut buaya mbah" salah satu tamu mbah Dul berkata. "Kampung kita ini sudah berganti ganti kepala tapi tidak juga kunjung membaik" sahut yang lain. "Jalan-jalan kita yang masih makadam seringkali mencelakakan orang lewat, irigasi tidak pernah mengalir dengan baik, hanya oknum yang punya uang sajalah yang mendapat prioritas, pupuk masih langka, pun kalo ada selangit harganya, pasar tempat kita jualan hasil bumi dikuasai preman dan makelar sehingga seringkali kami yang cuman bisa bertani ini selalu tombok karena hasil jualan kami tak sesuai dengan 'babok' untuk mengurusnya, sampe sampe mbok Nah mbok Nem lebih suka mburuh di kampung sebelah karena disana lebih menjanjikan. Di kampung sendiri memang kami rasakan 'sorone. nagadubilah. 'Ndilalah' mereka sebagai pemimpin kok ya tidak punya malu, masih saja mau mencalonkan diri lagi. Mbah Dul pasti tahu, mereka menggunakan uang untuk mendapatkan suara penduduk. Ini ndak sehat mbah. Ndilalah maneh orang-orang kampung kita ini masih saja mau diiming-imingi janji-janji dan uang. Kampung kita ini kena kutukan apa to sampe kayak begini keadaannya." salah satu tamu mbah dul meluapkan amarahnya. "Tolonglah kami ini mbah, kami ini sudah sangat bersabar dengan ini semua mbah," dia menahan nafas sebentar, menyadari dirinya dikuasai emosi dia kini lebih mengontrolnya, dengan suara yang agak dipelankan dia berkata lagi, " kami lebih suka kalo yang jadi kepala kampung kita ini dari kalangan yang muda-muda, semisal mas bibit, kami lebih rela mbah".

Mbah Dul yang dari tadi mendengarkan menarik nafas panjang, kemudian menepuk nepuk punggung pemuda itu. "Aku sangat paham apa yang kau rasakan, karena apa yang kau rasakan itu saya juga merasakannya. Kang Marto pun merasakannya. Sampe umur kami yang setua ini pun, sudah bau tanah ini pun tak pernah mendapati keadilan di kampung kita ini. Kita semua tahu dan merasakan itu". Mbah Dul yang semula tenang mendadak berkaca kaca matanya. "Tentu kalian juga masih ingat istri dan anak ku yang meninggal karena wabah penyakit di kampung kita dan untuk membayar rumah sakit untuk berobat kami tak mampu waktu itu?".

Semua terdiam mendengarkan Mbah Dul yang hampir menitikkan air matanya. Kemudaian Mbah Dul meneruskan, "dan tentu kalian tidak lupa juga putranya Kang Marto yang kecelakan dijalan yang tak jelas sebabnya ketika dia mencoba melaporkan keganjilan keganjilan laporan keuangan kampung?"

"Kalau kamu semua minta bantuan aku untuk ini aku sudah terlalu tua dan mataku sudah mulai rabun untuk melakukan sesuatu. Aku justru berharap pada kalian kalian yang masih muda usia. Masih punya tenaga yang kuat untuk bergerak dan masih punya punya akal untuk berfikir". Mbah Dul diam sejenak, kemudian meneruskan kata-katanya, "Biarlah kami yang sudah tua-tua ini kalaupun harus menitikkan airmata, kalaupun harus sampai mati tak menemukan yang namanya keadilan, akan kami niatkan semua itu sebagai tirakatan. Yang kalau bukan kami yang merasakan ganjarannya semasa kami hidup ya anak cucu kami nanti".

"Ini kampung kalian, kampung Kang Marto, kampung Mbok Nah, kampung Mbok Nem juga. Ini adalah kampung kita semua. Cintailah ia sampai kapanpun. Meski ada bisul di kepala dan bokongnya yang kemudian membuatnya tidak cantik, apakah kau akan meninggalkannya?". "Sekali lagi, kalao boleh mengibaratkan sebagai perawan, kampung kita ini adalah perawan yang sangat cantik dan molek sehingga banyak pemuda kampung tetangga untuk melamarnya untuk tidak mengatakan memperkosanya. Apakah kau rela?".

Kami semua terdiam mendengarkan mbah Dul. Kami masing masing tahu bahwa dalam diri terkekang amarah yang entah sampai kapan kami bisa menahan.


***

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS