Jadi manusia dulu saja

oleh: Galang Swatantra Ekajati


Beberapa hari yang lalu, aku diajak mbah Dul di acara pernikahan seorang teman. Mbah Dul sebagai penghulu di acara tersebut diminta untuk memberikan sepatah dua patah kata 'nasehat' untuk kedua mempelai. Mbah Dul mengatakan, "...bahwa selain rukun nikah, ada beberapa syarat lagi yang harus dipenuhi untuk membina rumah tangga yang sakinah ma wadah warrohmah...". Kemudian dia melanjutkan bahwa salah satu syarat itu adalah kedua mempelai harus lah manusia. Mendengar penjelasan mbah Dul tersebut, para tamu undangan sontak tertawa tergelak. "Memang, ini kedengaran seperti lawak", ujar mbah Dul. Kemudian mbah melanjutkan, "lalu bagaimana sih manusia itu?", mbah dul bertanya yang kemudian ia jawab sendiri, "contoh sederhana saja, jika ditangan kanan memegang gelas berisi minuman dan tangan kiri memegang roti, dan kemudian ditawari lagi jemblem misalnya, tentu kalau lumrahnya manusia akan bilang 'sudah terima kasih' dan menolaknya, tapi akan lain lagi monyet, semisal tangan kanan menggenggam kacang, tangan kanan membawa pisang, coba kau beri ia makanan lagi, tentu saja kakinya akan menerimanya". Uraian mbah Dul sekali lagi disambut gelak tawa para undangan. Lalu, "yang namanya manusia itu, ya kadang benar kadang salah, kadang ingat kadang lupa, kadang menang kadang kalah. Kalau manusia kok benar melulu, justru pantaslah kiranya diragukan kemanusiaannya".

Demikianlah, mbah dul mengisi 'nasehat yang baik' dalam acara pernikahan itu dengan diselingi guyon dan tawa dari para undangan yang pada dasarnya menertawakan ke-manusia-an mereka sendiri.

Sepulang dari acara kami pun berjalan pulang berbarengan. Aku memecah keheningan, "...kalo diamat amati, bener juga ya mbah, sekarang ini banyak sekali orang berwujud manusia tapi kelakuannya mirip monyet...?". Mbah Dul menyahuti dengan mesem, "Loh piye toh sampean iki, gak hanya monyet, kambing, ular, seperti macan, seperti bebek....wujude menungso ning kelakuane kaya binatang". "Orang yang korupsi makan uang rakyat sampek perutnya buncit seperti mau meledak, apa bisa di sebut manusia? Ada lagi, orang yang seluruh hidupnya ia habiskan untuk kekuasaan saja, berbagai macam cara ia gunakan untuk mendapatkan kursi kekuasaan saja, apa bisa disebut manusia? Kemudian orang yang seumur hidup nya 'lidah bercabang' sehingga tak bisa dipegang janji janjinya, apa itu bisa disebut manusia?".

Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara sandal jepit kami yang bergesekan dengan tanah.

Kemudian mbah dul melanjutkan, "Menurutku, dan kamu boleh saja beda, Kanjeng Nabi adalah manusia yang paling manusia, mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Suatu hari ada seseorang yang sangat suka shalat, saking senengnya dia memasang tali yang ia gantung di sampingnya sehingga kalau ia capek maka ia gelayutan di tali itu untuk membantunya berdiri lagi dan kemudian shalat lagi. Dan Kanjeng Nabi justru melarang hal yang seperti itu". Dalam perjalanan pulang malam itu mbah dul yang lebih banyak memberikan pandangannya, sementara aku lebih banyak diam. "Alangkah baiknya jika kita menjadi manusia dulu sebelum jadi seniman, sebelum jadi presiden, sebelum jadi wakil rakyat, direktur, tentara, dan lain sebagainya". "Yang sering terjadi belum lagi menemukan ke-manusia-an nya tapi sudah pengen jadi 'macan' maunya berkuasa melulu, pengen jadi jago ini jago itu, jadi kera saktilah, atau si babi maut lah dan lain sebagainya".

Seperti biasanya aku tak mampu menahan diri untuk mengkait kaitkannya dengan Indonesia. "Mungkin ada kaitannya mbah dengan kenapa reformasi di Indonesia ini tak merubah apa apa?". "Coba sampean pikir mas bibit, misal seekor burung, yang lama sekali di dalam kurung, kebebasan seperti apa yang paling ia maui?". Aku pun menjawab ragu ragu, "terbang". "Nah, kenapa terbang? karena siburung menyadari bahwa dirinya adalah burung". "Lain kejadiannya jika si burung menganggap dirinya kecoak, atau kembang telekan, bukan?".

"Nah, kenapa reformasi di sini tidak merupah apa apa dan tak berjalan kemana mana?". Aku menyahuti, "karena kita belum lah sadar akan ke-diri-annya sebagai manusia? karena kita tak sadar akan kediriannya sebagai manusia-indonesia? karena kita tak sadar sebagai manusia-indonesia-yang sesungguhnya sangat agung ini? karena Garuda menganggap dirinya burung emprit? karena garuda menganggap dirinya kecoak sehingga hanya patut diinjak? Garuda menganggap dirinya kembang telekan sehingga menimbulkan inferioritas nasional yang tiada tara? sehingga setelah reformasi, si Garuda ini tak tahu harus terbang atau merayap?". "Karena tak sadar akan dirinya maka reformasi tak berjalan kemana mana dan tak merubah apa apa?"

Perbincangan kami terpotong karena kami telah tiba di pelataran rumah mbah Dul. Setelah mbah Dul mengucapkan salam, aku pun bergegas melanjutkan perjalananku pulang yang masih sangat jauh dari rumah mbah Dul.

Di perjalanan itu aku berfikir mungkin ada benarnya yang dikatakan mbah Dul. Cukup jadi 'manusia' dulu saja...baru jadi manusia-Indonesia yang Raya


****

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS