Panji 1: Sang pencari


           Tak ada peristiwa yang sangat mempengaruhiku pada awal–awal usia mudaku kecuali peristiwa 98 yang meruntuhkan kekuatan rezim Suharto oleh mahasiswa di negeri ini. Mahasiswa dan beberapa tokoh nasional dengan mengatas-namakan rakyat Indonesia dan demokrasi berhasil menyeruak memasuki gedung-gedung pemerintahan menuntut lengsernya presiden republik ini yang selama berpuluh tahun berkuasa. Bahkan telah mulai berkuasa puluhan tahun sebelum aku lahir.
            Saat itu aku masih kelas 2 Sekolah Teknologi di sebuah kota kecil, Kediri. Betapa aku masih ingat waktu di televisi menyiarkan peristiwa bersejarah itu dimana puluhan ribu atau bahkan mungkin ratusan ribu mahasiswa nasional bersama berbagai elemen masyara-kat tumpah-ruah menyuarakan hal yang senada, yakni demokrasi. Tak hanya di ibu kota Jakarta, gerakan mahasiswa ini juga diikuti oleh demo-demo yang tak kalah besarnya di kota-kota lain. Suara tembakan ‘pengamanan’ terdengar di berbagai penjuru tempat kejadian. Dengan peluru karet atau bahkan, seperti kemudian terungkap dari beberapa korban yang meninggal, ternyata tidak hanya peluru karet akan tetapi aparat pengamanan juga menggunakan peluru sungguhan.
            Sungguh sebuah situasi yang kacau sekaligus mengerikan. Toko-toko dijarah, gedung-gedung dirusak bahkan ada kabar bahwa perempuan-perempuan menjadi korban pemerkosaan dan korban mati pun berjatuhan. Dalam situasi yang chaos seperti itu apa saja bisa terjadi. Bahkan menjadi sangat memungkinkan manusia kehilangan kemanusiaannya. Meskipun aku di satu sisi terkagum-kagum menyaksikan gerakan mahasiswa yang menjelma kekuatan yang maha dahsyat  melawan kekuatan maha dahsyat lainnya yang menguasai negeri selama puluhan tahun yang telah mapan, tetapi dalam batinku tetap tak setuju jika atas nama kebebasan, atau keamanan negara sekalipun, lantas diperbolehkan melakukan apa saja, dengan cara bagaimanapun juga, untuk tujuan tersebut. Apalagi harus melanggar kemanusiaan. Entah apa yang menguasai jiwa mereka sehingga mereka harus kehilang-an kemanusiaannya.
Ironis memang, satu sisi, gerakan mahasiswa dahsyat menyuarakan dan memperjuangkan demokrasi dan kemanusiaan, tapi justru, dalam prosesnya, harus kehilangan kemusiaan itu sendiri dalam mencapainya. Mungkin itulah kenyataan yang harus diterima, meretas tegaknya demokrasi dan hak hak kemanusiaan harus dibayar semahal itu di negeri ini. Ah, tidak-tidak, aku tak mau menyimpul mati peristiwa itu. Aku masih harus perlu tahu lebih banyak lagi tentang peristiwa itu. Dari berbagai sudut pandang. Biarlah simpul ini tetap hidup sehingga lebih mudah terurai nantinya, dengan sejernih jernihnya.   
Aku melihat peristiwa ’98 itu tak lebih dari sekedar pertunjukan kekuatan yang maha dahsyat melawan kekuatan lain yang tak kalah dahsyatnya. Selebihnya adalah kesimpulan-kesimpulan yang tak jernih yang bersumber dari ketidak-mengertianku. Sesederhana itulah aku berfikir tentang peristiwa ini kala itu. Aku tak sungguh-sungguh tahu secara mendalam apa itu demokrasi, yang disuarakan mahasiswa-mahasiswa itu. Aku bahkan juga tak tahu apa yang salah dengan kemapanan yang selama itu diwujudkan oleh rezim Suharto. Bahkan beberapa bulan pasca lengsernya Pak Presiden, suatu ketika Mbah Yem, tetangga sebelah rumah berseloroh “…dikapak-kapakno jek kepenak jamannya Pak Harto, sembako murah dan gak onok rusuh-rusuh koyo ngene iki…” (…bagaimanapun juga masih enak jaman Pak Harto, sembako murah dan gak ada rusuh-rusuh seperti ini..). Aku terusik dengan pernyataan itu. Karena meskipun aku tak benar-benar paham semangat yang melandasi gerakan mahasiswa itu, secara insting, aku sangat mendukung mereka. Dan logikaku pun memberikan pembenaran dengan beranggapan bahwa tak mungkin ada gerakan besar-besaran di seluruh penjuru negeri ini oleh mahasiswa dan sejumlah tokoh tanpa ada keyakinan yang kuat akan kebenaran konsep yang mereka pegang dan perjuangkan. Sementara banyak juga orang-orang seperti Mbah Yem yang lain, justru dari kalangan merekalah suara rakyat kecil sebenarnya.
            Ingin rasanya aku membela mahasiswa-mahasiswa idolaku itu, yang karena peristiwa ’98, kuanggap mereka lah kaum-kaum intelektual sebenar-nya, yang super cerdas, kritis, berani, selalu memikirkan urusan bangsa dan negara ini untuk kemudian dibawa menuju cita-cita luhur, tentu saja dengan memperjuang-kan apa yang mereka sebut-sebut demokrasi, rakyat adil dan makmur. Akan tetapi mulutku bungkam mendengar-kan kata-kata mbah Yem. Aku tak mampu membela para mahasiswa itu. Atau kalaupun tak mampu membela, setidaknya aku ingin sekali menyelaraskan pemahaman mereka dengan para mahasiswa itu, sehingga tak terjadi salah paham antara sang mahasiswa, yang kusebut sebagai pembela rakyat kecil, dengan rakyat yang dibelanya. Bagaimana aku bisa menjelaskan, sementara aku tak tahu apa yang sebenarnya salah dengan pemerintahan orde baru, pun aku juga tak paham sepenuhnya suara para mahasiswa itu. Tapi yang tak bisa kupungkiri saat itu adalah aku sangat mengagungkan sosok mahasiswa sebagai manusia, yang ku yakini, selalu bertindak bukan tanpa konsep dan pertimbangan yang mendalam. Sehingga aku beranggapan dan sangat ber-harap peristiwa ’98 itu, yang menelan banyak korban kemanusiaan itu, benar benar untuk memperjuangkan sesuatu yang menuju kebaikan. Entah mereka sebut itu demokrasi ataupun rakyat adil dan makmur, yang jelas aku mempercayakan itu pada mereka. Mahasiswa is my super hero titik.
            Dalam diam aku merenungi kata-kata Mbah Yem. Melihat kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan dan korban mati berjatuhan, dan tidak serta mertanya terlihat faedah yang diakibatkan peristiwa ’98 tersebut, akupun tak bisa sepenuhnya bisa menyalahkan pandang-an Mbah Yem. Berbagai tanya berkecamuk dalam diri ku. Sungguh suatu hal yang ironis. Bagaimana mungkin gerakan mahasiswa yang notabene diperjuangkan untuk rakyat justru tidak mendapatkan dukungan dari yang dibela? Adakah gerangan gerakan yang mahadahsyat itu, bukan atas dukungan rakyat? Sekali lagi tidak, tak seyogyanya aku terlalu cepat menyimpulkan. Apalagi tanpa didukung oleh pengetahuan yang cukup. Mungkin akan lebih baik jika aku lebih berhati-hati dengan penggunaan kata-kata  ‘rakyat’. Jangan dulu mengguna-kan apalagi mengatas namakan rakyat. Mungkin lebih bisa diterima kesimpulan sementaranya adalah adanya ketidak-selarasan pemahaman antara mahasiswa dengan orang-orang yang berpandangan seperti mbah Yem. Dan atas nama apapun juga, atas nama tujuan semulia apapun juga, tidaklah dibenarkan membunuh, memperkosa, menjarah yang bukan haknya. Kupikir bukan hanya aku, kau pun akan menyetujinya, karena aku dan kamu manusia, bukan hewan, jin ataupun genderuwo, bukan?
            Dalam segala keterbatasanku ini, diam-diam kekagumanku terhadap sosok mahasiswa sungguh semakin besar. Dalam bayanganku, mahasiswa adalah manusia ideal yang begitulah seharusnya kualitas rakyat negeri ini, nantinya. Mahasiswa yang selalu meng-hendaki ilmu untuk mencapai kebenaran sejati, kritis terhadap segala sesuatu yang mengusik nurani, dan selalu bergerak untuk sesuatu yang diyakininya sebagai kebenaran sejati. Mahasiswa adalah sosok dimana tak pernah ia terlepas dari buku-buku dalam semangat mencari kesejatian yang tak henti-henti. Diajar oleh guru-guru yang mumpuni. Dimana pun tempatnya  mahasiswa selalu mendiskusikan segala macam ilmu yang membawa umat manusia menuju kebaikan dunia maupun akhirat. Saat itu aku berpikir bahwa itulah mungkin yang dimaksud guru agama ku bahwa manusia adalah khalifah fil ardh. Sekurang-kurangnya kualitas manusia yang seperti mahasiswa itulah yang dibutuhkan untuk mengelola bumi seisinya sehingga manusia disempurnakan oleh Tuhan beberapa derajat diatas makhluk lain ciptaan-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS