Panji 3: Si Toke telah lari

Setelah ku tahu kendala untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, aku pun berencana untuk bekerja. Dan ku putuskan untuk mencoba peruntungan di negeri tetangga, Malaysia. Kasihan juga melihat bapak dan emak mendatangi beberapa saudara dan tetangga untuk meminjam sejumlah uang kepada mereka bakal modalku ke Malaysia. Acara pinjam meminjam seperti ini bukanlah yang pertama, akan tetapi sebelumnya pun emak tak jarang melakukannya, dulu sewaktu kami anak-anaknya masih sekolah. Tapi emak selalu menepati janji mengembalikan utangnya tepat waktu, tak pernah terlambat seharipun. Sehingga emak masih selalu dipercaya saudara dan tetangga soal pinjam meminjam uang seperti itu. Tapi meskipun begitu, bukan perkara mudah untuk mendapat pinjaman uang sebesar 5 jutaan di desa kami. Bukan karena alasan lain, hanya memang desa kami masih jauh dari titik kecukupan. Satu dua orang kaya di desa kami, entahlah, sepertinya tidak mempercayai orang-orang miskin seperti kami dan banyak penduduk desa yang lain. Apalagi urusan uang seperti ini. Namun uang utangan untuk modal ke Malaysia pun didapatkan juga. Ada beberapa saudara yang sudi urunan untuk itu. Sementara pembayaran akan diangsur sedikit demi sedikit semampunya. Semacam pinjaman lunak gitu lah.  
Dan aku pun menghubungi PJTKI yang sering diiklankan di radio itu. Setelah beberapa kali mengurus beberapa surat-surat yang diperlukan, aku dan rombong-an TKI lainnya pun ke Surabaya untuk kemudian ke Jakarta. Kami tak menaruh kecurigaan apa-apa terhadap PJTKI ini, karena selain iklan di radio yang sangat meyakinkan itu, sudah ada beberapa orang yang sudah berhasil diberangkatkan olehnya. Di Jakarta kami diberi penjelasan bahwa kami akan transit di Pontianak 2 hari kemudian langsung bekerja di Malaysia. Sudah ada toke di Pontianak sana yang mengurus segala sesuatunya. Kami, rombongan TKI, yang hampir seluruhnya orang desa tak pernah punya prasangka jelek kepada orang lain, termasuk PJTKI ini. Apalagi sebagian rombongan TKI ini masih tergolong saudara pengelola PJTKI ini. Sehingga ketika kami dijanjikan akan bekerja di pabrik-pabrik di Malaysia, kami langsung percaya. Alam pikir orang desa seperti kami memang jarang curiga sama orang lain dan cenderung manut dan sumarah pasrah, inilah yang menjadikan kami seperti ini. Dan aku termasuk didalamnya, meski tak mampu memahaminya. Ada ketidak-sregan di kepalaku.
Selama tiga hari dua malam, kami terapung-apung di laut di atas Kapal Lawit. Dan tibalah kami di tanah Borneo. Turun dari kapal langsung kami menempuh perjalan darat menuju tempat penampung-an yang telah ditentukan. Direncanakan hanya dua hari transit di sini, akan tetapi ternyata lebih. Kami, rombongan TKI, mulai resah. Mewakili rombongan, aku yang termuda dan dua orang usia tiga puluhan, sepuluh tahun lebih tua dari ku, menemui toke yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini. Dan  kami pun mendapat penjelasan bahwa di Malaysia sana masih sedang gencar-gencarnya dilakukan sweeping untuk tenaga kerja yang tak punya visa. Sementara kami memang menggunakan cara calling visa. Ku ketahui istilah itu dari pengelola PJTKI yang ada di Jakarta. Yaitu, bekerja dulu di Malaysia sementara visa kerjanya menyusul setelah beberapa bulan disana. Kami menerima penjelasan itu tanpa protes. Dan kami pun menanyakan kapan sweeping ini akan reda dan kami bisa berangkat. Si toke mengatakan sebulan lagi.
Dengan makanan jatah dari pengelola PJTKI di Jakarta kami bertahan di Pontianak menunggu pem-berangkatan. Setelah sebulan kami menunggu pemberangkatan, kami pun kembali menemui si toke untuk menanyakannya, karena tak ada tanda-tanda mau diberangkatkan ke Malaysia. Si toke menjawab kondisi di sana belumlah normal, jadi teman-teman rombongan TKI diminta untuk menunggu sebulan lagi sampai kondisi benar-benar normal. Lagi-lagi kami menerima tanpa protes. Aku tahu ada gelagat yang kurang baik dari si toke, tapi aku yang termuda tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menerima sesuai dengan keputusan dua wakil rombongan lain yang lebih tua.
Para TKI resah, ketika dua wakil rombongan yang paling tua mejelaskan berita penundaan itu. Sementara aku hanya diam. Para TKI ini mulai risau bagaimana mereka akan bertahan hidup, soalnya semakin kesini, jatah makan dari pengelola PJTKI di Jakarta  mulai tak memadai bahkan cenderung kurang untuk kami. Namun dua wakil yang dianggap paling tua dalam rombongan meyakinkan mereka untuk sedikit bersabar untuk mau menunggu. Dan kami pun menerimanya. Karena pada dasarnya kami tak mau ribut-ribut di sini. Kami lebih terbiasa menahan lapar daripada harus protes yang berujung keributan.
Tak ayal lagi, kami harus bekerja apa adanya untuk bisa makan di sini. Yang laki-laki ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, ikut menjadi tenaga panen lidah buaya, ada yang berkerja di warung-warung sebagai tukang cuci, sementara yang perempuan mencari sayur-mayur yang banyak tumbuh liar di sekitar situ, untuk kemudian dimasak. Ada juga yang mancing mencari ikan di sungai yang mengalir di sekitar penampungan. Semua hasil dari bekerja dikumpulkan kepada salah seorang yang ditunjuk untuk mengatur keuangan. Semua hasil-nya, sedikit ataupun banyak, dikelola sedemikian rupa sehingga semua ikut merasakan. Mangan siji, mangan kabeh. (makan satu makan semua). Sungguh terasa kebersamaan kami disana. Susah senang dirasakan bersama. Tak ada yang curang. Tak ada iri-irian. Semua ikhlas dijalankan. Mungkin karena kami orang desa, dengan alam pikir yang sederhana dan masih memegang pameo mangan ora mangan asal kumpul (makan enggak makan asal kumpul).
Di tengah nasib keberangkatan kami yang belum menentupun, kami masih sempat, dengan dipimpin wakil rombongan TKI yang paling tua, dengan keguyub-an, membersihkan surau kecil yang memang tak lagi pernah dipakai di kampung itu. Sehingga surau yang di dindingnya ditumbuhi lumut-lumut yang sangat tebal dan di sekelilingnya ditumbuhi ilalang yang tinggi itu pun kini bersih. Dan surau yang telah bersih itu pun kini rutin mengumandangkan adzan. Semula memang kami yang memulai, tapi semakin kesini, warga asli kampung itupun mau ikut meramaikan surau itu. Bahkan seperginya kami dari kampung itu kelak, sudah disusun semacam ta’mir suraunya segala.   
Aku yang mengamati semua itu, semakin dibuat bingung. Ditengah ketidak menentuan nasib, bahkan mungkin bisa dikatakan ada rencana busuk dari si toke, makan jatah yang jadi hak mereka pun distop dari pengelola Jakarta dengan alasan sudah tak ada anggaran, makan hanya dengan kulup godong telo dan nasi dari beras paling murah, tak jarang hanya telo rebus, namun lihatlah apa yang telah mereka lakukan, lebih dari sekedar sanggup bertahan. Sungguh sebuah alam pikir yang tak mampu dicerna kepalaku.
Bulan kedua kami menunggu pun berlalu. Kami, wakil dari rombongan ingin menagih janji dari si toke. Kami bermaksud menemui si toke di rumahnya seperti sebelumnya. Tak ada orang disana. Dari informasi tetangganya, si toke sudah tak tinggal lagi disitu. Si toke telah pergi melarikan diri. Yang ku sangkakan sebelumnya telah kejadian. Si toke lari dari tanggung jawabnya. Dengan mata berkaca-kaca, wakil rombongan tertua kami pun menyampaikan kabar buruk ini kepada rombongan TKI. Mendengar berita itu, rombongan kami menjadi gelisah, banyak diantara kami yang menangis kecewa, hanya beberapa yang mengalir darah muda dalam tubuhnya berontak, namun tak bisa berbuat apa-apa, paling jauh dengan mengumpat dan memukul-mukul didinding rumah penampungan. Sementara pengelola PJTKI yang di Jakarta pun tak terdengar kabarnya lagi.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani