Panji 4: Waspadalah! Jalanan tak pernah sepi

Saat itu bulan ramadhan, entah hari ke berapa, aku lupa. Teman-teman rombongan TKI telah berpencar. Sebagian besar mereka telah pulang ke kampung halaman. Sementara sebagian sisanya pergi entah kemana. Seperti ketika aku berangkat dari Jakarta- Borneo beberapa bulan yang lalu, butuh waktu tiga hari dua malam menuju Jakarta menempuh perjalanan laut. Namun kali ini aku numpang kapal barang yang kebetulan menuju Jakarta. Aku menceritakan perihal kegagalan keberangkatan ku ke Malaysia kepada pemilik kapal. Mungkin pemilik kapal merasa kasihan sehingga aku diijinkan numpang di kapalnya. Selama tiga hari dua malam itu aku diberi makan sahur dan buka. Syukurlah.
Hampir subuh kapal pun merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Aku tak tahu harus ke mana . Sementara di kantung celanaku masih terselip selembar lima puluh ribuan pemberian seorang kawan di surau itu sehari sebelum aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Aku tak menghubungi keluarga di desa. Aku takut membuat mereka bersedih atas kegagalan keberangkatan ini. Biarlah ku pikir mereka tak perlu tahu dulu. Sambil memikirkan apa yang sebaiknya ku lakukan setelah sampai di Jakarta, aku pun menuju ke sebuah mushola di pelabuhan itu.
***
Orang bilang tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah ada yang mengatur. Hampir dua bulan lontang-lantung di Jakarta, tak ku sangka akan bertemu dengan seorang teman sekampung di Rambutan. Dia sopir angkot K40 trayek Pekayon – Kampung Rambutan. Tahu bahwa aku ingin mencari kerja untuk kuliah, maka dia pun menawari ku untuk bekerja sebagai sopir. Dan jika aku mengiyakan tawaran ini maka dia akan memperkenalkan aku ke bos pemilik angkot itu. Kebetulan saja, hasil dari nyopirnya, temanku itu sudah bisa membeli sebuah angkot trayek Lippo Karawaci – Cimone di Tangerang. Karena berencana nyopir di sana maka angkot yang sekarang dia sopiri tak ada yang membawa. Sebenarnya aku ragu-ragu dengan diriku sendiri terkait dengan tawaran ini. Apakah aku bisa menanggung tanggung jawab kepercayaan yang begitu besar itu? Aku masih terhitung masih sangat muda, belum genap 19 tahun, dan belum ada dua bulan di Jakarta, belum begitu mengerti medan dan aku masih orang kampung, dengan alam pikir orang kampung, yang sederhana dan lugu untuk ukuran kehidupan di Jakarta. Sementara aku harus membawa mobil angkot yang harganya tak kurang dari 80 jutaan. Bukankah semakin besar nominal yang dipercayakan ke kita, semakin besar pula tanggung jawab yang diemban? Belum lagi hidup di jalanan yang kata orang sangat panas dan keras sekaligus kejam ini? Sementara di sisi lain aku butuh hidup, syukur jika bisa menabung untuk kuliah yang ku cita-citakan dari jauh hari. Tiga hari aku menimbang tawaran itu. Ku kumpulkan keberanian dan keyakinan bahwa aku bisa melakukannya. Dalam hati ku ucapkan dengan semangat LailahailaLloh aku menerima tawaran ini.
Setelah dapat kursus kilat nyetir, akupun mulai dilepas membawa angkot itu sendirian. Sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, tak ada kendala. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, sudah mulai biasa. Wow, luar biasa, aku sudah bisa nyopir, aku sudah bisa mengantarkan penumpang ke tempat tujuannya dengan selamat. Wow, aku sudah bisa cari duit sendiri. Aku sudah bisa mandiri. Aku mulai menikmati profesi baruku ini. Selain sudah banyak kenalan sopir lain di terminal Kampung Rambutan, aku mulai kenal orang-orang yang sama-sama mengadu nasib di Jakarta ini. Dari si asep tukang rokok sampai kang paijo ‘tegal’ si penjual kopi. Dari Pak Hardi petugas terminal sampai Pak Bintoro seorang Kapolsek Pondok Gede yang ternyata orang Kediri juga. Dan syukurlah, penghasilan dari nyopir angkot itu lebih dari cukup untuk hidup disana. Sehingga banyak sisa yang bisa ku sisihkan untuk biaya kuliah nanti.
Kira-kira sudah hampir setahun aku bekerja sebagai sopir angkot. Sudah ratusan bahkan ribuan orang yang kuantarkan sampai tujuan dengan selamat. Hingga peristiwa itu terjadi. Dalam kecepatan setinggi itu, entah mengapa perhitungan nalar ku seperti siput jalannya, apalagi otot-otot kaki, tangan dan bagian tubuhku yang lainnya, seperti beku rasanya. Mungkin ada benarnya kata-kata guru nyetirku dulu, yang juga teman sekampungku itu, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi akan terasa sangat sulit jika kau menggunakan perhitungan nalar. “Sudah, tak perlu kau pikirkan pake kepala bagaimana cara nyetir mobil itu, lakukan saja. Maka setelah itu insting yang bicara”, katanya waktu mengajari aku nyetir dulu. Dan catatan yang perlu diingat dalam nyetir mobil, katanya, semakin cepat laju mobilmu, semakin jauh pula pandangan yang harus kau jangkau ke depan di jalan yang akan kau lalui. Dan memang benar adanya begitu, setidaknya sampai peristiwa itu terjadi. Aku menabrak mati orang itu.
Pukul tujuh kurang. Saat itu malam. Jalanan sehabis tikungan lampu merah pintu satu Taman Mini, sebelum masuk terminal Kampung Rambutan, sangat lah sepi seperti biasanya. Aku memacu kendaraan dengan kencang. Mengingat jam segitu adalah jam-jam arus balik orang kerja. Maka di terminal sudah bisa dipastikan akan banyak sewa yang ngantri menunggu angkot. Kupikir lumayan buat tambah-tambah uang bensin. Habis itu pulang. Belum lagi aku masuk terminal, di jalan sepi itu, tiba-tiba, entah datang darimana, seseorang lari seperti dikejar hantu, ke tengah jalan, tepat di depan mobilku. Jeger. Tak ayal lagi, orang itu tertabrak dan terlindas mobilku. Ya Alloh, seruku spontan. Ku injak rem, meski terlambat. Aku keder, dadaku bergetar, jantungku berpacu, keringat dingin mulai keluar. Aku menabrak orang. Aku takut sekali waktu itu. Mobil ku hentikan. Ku beranikan diri menghampiri si korban. Terlihat banyak darah membanjiri jalan aspal yang gelap itu. Tak sampai lima menit, sekitar dua puluhan orang berlari-lari mendatangi tempat kejadian. Banyak diantara mereka yang membawa balok kayu sebesar lengan, ada juga yang membawa batu. Berulang kali ku sebut-sebut nama Alloh dalam hati ku. Ya Alloh, semua terjadi atas ijin-MU, maka ku kembalikan semua kepada-MU. Aku pasrah. Innalillahi wa innailahi roji’un. Oh tidak, massa itu tak menghakimi ku. Syukurlah. Selang beberapa menit salah seorang dari orang-orang tadi menghampiriku, sementara yang lain mengurus jasad korban yang kemudian baru ku ketahui bahwa dia telah tewas. “Abang gak apa-apa?”, katanya. Belum sempat kujawab, dia lebih dahulu menjawab keheranan saya. Menurut dia, korban yang barusan ku tabrak adalah perampok yang sering meresahkan warga sekitar situ. Tak sempat aku bicara, polisi telah datang ke TKP. Aku pun di gelandang naik ke mobil mereka, sementara salah satu dari polisi-polisi itu meminta kunci kontak mobil angkotku dan mengendarainya ke kantor polisi.
Malam itu aku menginap di kantor polisi. Keesokan harinya, ketika polisi meminta keterangan, aku pun menceritakan kronologi terjadinya peristiwa itu tanpa ku tutup-tutupi. Entah darimana dia tahu, Pak Bintoro yang Kapolsek Pondok Gede itu pun datang untuk menjengukku. Setelah bicara sebentar dia pun keluar ruangan tempat aku diintrogasi. Sekitar tiga puluh menitan, dia kembali ke ruang interogasi, dan mengatakan bahwa aku boleh pulang sekarang. Hati-hatilah membawa mobil katanya kemudian. Bagaimana Pak Bintoro ini tahu aku disini? Belum sempat kutanyakan kepada beliau, sayangnya dia sudah dipindah tugaskan ke daerah lain.
Sungguh peristiwa itu, membuatku trauma. Sampai-sampai aku ingin berhenti saja nyopir angkot. Tapi bos angkotku melarangnya. Mungkin karena selama ini aku bekerja dengan baik dan jujur. Maklum, aku masih orang kampung yang sederhana yang lugu. Bahkan dia, bos angkotku itu, memberiku cuti sekehendak ku untuk sementara waktu ini sampai trau-ma itu hilang. Nanti kalau kamu sudah siap, kamu boleh kesini, nyopir lagi, kapan saja, katanya waktu itu. Sungguh kawan, menabrak orang sampai mati adalah peristiwa yang sangat menakutkan bagiku. Aku seperti dikejar-kejar rasa bersalah yang tak berkesudahan. Akibat dari peristiwa itu, keinginan ku untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi tak lagi membara. Semakin hari semakin redup. Aku tak begitu menyesal melewatkan kesempatan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru tahun ini. Aku rasakan menabrak orang sampai mati ini yang ku sesali semakin hari semakin dalam.
Hari-hari setelah peristiwa tabrak mati itu kuhabiskan hanya dengan berdiam diri di kamar kontrakan. Keluar-keluar mungkin cuman untuk membeli makanan dan sesekali ke Senen untuk membeli buku bekas. Di kamar kontrakan, sendiri, melahap beberapa buku yang telah ku beli. Begitu terus berlangsung hampir dua bulan. Sepertinya aku tak lagi punya semangat apa-apa lagi. Layu. Luruh. Tak berdaya.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS