Panji 6: MAIAFANA

Rumah kontrak tempat aku tinggal ini terletak pojok blok F. Di depannya terdapat jalan membujur yang di ujungnya terdapat tikungan yang menghubung-kan blok F dan blok D maupun E. Berseberangan dengan rumah tempat tinggalku terdapat semacam Poskamling, dimana para ibu-ibu muda perumahan yang tinggal di sekitar seringkali ngemong atau ndulang anak-anaknya. Termasuk Maiafana.
Dia belum lama di sini, katanya, belum genap tiga bulan. Dia ingin mencari kerja di Jakarta. Di kampung sepi nggak ada apa-apa, katanya waktu itu. Dia tinggal di rumah kakaknya di Blok D, blok tepat di seberang belakang rumah kontrakan ku. Dia berasal dari Tasikmalaya. Mungkin benar kata orang, bahwa orang sunda mah geulis-geulis pisan. Setidak satu bukti telah memperkuat kebenarannya. Maiafana, berkulit bersih, bibir tipis, hidungnya mungil. Rambutnya hitam ikal sebahu, meski tak banyak. Dan yang paling penting, kalau sedang itu tersenyum itu loh, ampun-ampun rasanya aku dibuatnya. Huh, gemes aku.
Semenjak obrolan yang berujung perkenalan aku dengan Maia waktu itu, kami semakin sering ngobrol. Kadang berdua saja. Kadang juga rame-rame sama ibu-ibu di sekitar situ. Seperti biasa, sekitar jam 4 sore di poskamling depan rumah. Aku pun mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan tabrak mati itu. Meskipun tetap saja tak bisa hilang sepenuh trauma dalam diri ku. Entahlah, aku selalu merasa senang jika bisa ngobrol dan ketemu sama Maia. Serasa tak pernah bosan melihat wajahnya. Apalagi senyumannya. Ini adalah kali kedua aku merasakan hal-hal seperti ini setelah SMP dulu. Mungkinkah rasa ini tak akan tersampaikan seperti SMP dulu? Sekarang aku belum tahu.
Banyak yang Maia lakukan untukku, meski tiap kali ketemu kami hanya ngobrol biasa-biasa saja. Mungkin dia tak sadar melakukan itu. Kini aku pun mulai membuka diri, jika sebelumnya hanya mengurung diri di kamar. Dan aku sudah nyopir lagi mulai beberapa hari yang lalu. Meski Maia tak menyadarinya, dia telah memberikan semangat baru buatku. Aku mulai mereka-reka kembali keinginan ku untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi. Tahun ini harus kulaksanakan rencana ini. Dan ketika aku ceritakan keinginan ku itu, dia sangat mendukung. Katanya waktu itu, “iya, bagus itu”. Alamak, dia terseyum pada ku. Ditambah kerlingan lagi.
Aku memang sudah mulai nyopir kembali. Tapi tak sengoyo dulu lagi. Jika dulu berangkat pagi pulang malam, kini sekitar jam 4 sore aku pasti sudah pulang. Ku parkir mobil di samping rumah. Aku cuci mobil itu di rumah, sambil sering kali ku tengok ke poskamling, mungkin saja Maia ada disitu. Kok belum ada ya?! Kemana ya?! Aku membatin saja. Seolah-olah tahu sedang ku tunggu-tunggu, ia muncul tiba-tiba dari balik tembok pagar, sambil sengaja mengejutkanku. Hwaaa. Kemudian dia tersenyum. Ya ampuuunnnn, mati aku. “Kok masih sore udah pulang mas”, dia membuka obrolan, sekali lagi, seolah dia tahu aku sengaja pulang sore terus untuk bisa ketemu dia. Atau setidaknya melihatnya. Ku jawab sekenanya, “tarikan lagi sepi”, sambil nyengir kuda. Dan obrolan pun mengalir begitu saja.
Maiafana suka sekali melihat bunga Panca Warna yang ku tanam di pot besar di teras rumah. “Dulu waktu kecil aku punya bunga Panca Warna, sayang…”, ujarnya. “Kenapa?”, tanyaku. “…sayang, dia kini telah mati, kesambit ibu saat bersih-bersih rumput dengan sabit. Padahal sudah berkali-kali berbunga, sudah lama sekali aku merawatnya”. Dia menilik-nilik bunga dalam pot besar itu. Sementara aku teruskan mencuci mobil. Kemudian dia mengambil selang air yang ku buat mencuci mobil. Dia menyiram bunga-bunga di pot sekalian halaman rumah ku. Aku memperhatikan dia yang lagi khusyuk menyiram bunga. Sekali lagi dada ku berdesir.
****
Saat itu bulan Ramadhan malam lima belas. Jika malam-malam sebelumnya dia menghampiri ku untuk mengajakku berangkat bareng untuk shalat tarawih, malam ini tidak. Dia menhampiri ku dan menanyakan kepadaku dari balik pagar halaman depan, “mas tarawih?”. Kubalik bertanya, “kamu?”. “Lagi enggak”, dia menjawab singkat. Kubalas, “aku juga enggak ah”. Dia tersenyum. Kalau sudah tersenyum begitu. Aku ampun. Kami pun duduk-duduk berdua dan berbincang di pos jaga depan rumah. “Lintang dan Diaz nggak ikut?”, tanyaku. Lintang dan Diaz adalah kedua keponakannya. “Ikut ayah dan ibunya”, dia jawab singkat. Ada apakah gerangan? Dia jadi lebih pendiam dari biasanya. Tak seperti biasanya obrolan kami ini banyak diamnya. Ku pancing-pancing untuk cerita apa masalahnya. Dia tak bergeming. Kami hanya bisa memandangi wajahnya. Dan aku tahu dia kadang melirikku juga dari sudut matanya yang indah. Mengetahui aku sedang memandanginya dia pun menunduk. Seolah menyembunyikan sesuatu. “Baiklah, aku saja yang bercerita”, kataku. “Dahulu kala ada seorang pemuda papa. Pemuda kampung yang tak punya apa-apa, selain keluguan. Dia berangkat ke kota raja untuk satu tujuan. Dia ingin menjadi orang pintar. Dia ingin menimba ilmu, supaya bisa menjadi manusia yang seperti maksud Tuhan menciptakannya”. Maia melirikku, ampun Tuhan, aku membatin. Kemudian ku lanjutkan ceritaku. “Di tengah perjalanannya, dia bertemu seorang cantik jelita, yang tak lain adalah putri sang raja. Dan pemuda itu pun jatuh cinta. Sang putri terlihat sudah matang dan dewasa. Dan memang benar, usianya diatas pemuda papa itu. Bahkan konon sang raja, ayahnya, sudah mencari-carikan seorang ksatria yang cocok untuk sang putri”. Maia mendengar dengan serius. “Terus?” dia ingin aku melanjutkan ceritaku. Dan aku pun melanjutkan ceritaku, “Dalam hati sang pemuda yang dilanda asmara itu, sang putri adalah satu-satunya. Sang pemuda memilih untuk tak menikah jika tidak dengan sang putri”. “Terus apa kabar dengan cita-cita sang pemuda?”, Maia bertanya. “Justru itu, sang pemuda semakin bertambah semangat untuk menimba ilmu. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk sang putri kelak”, lanjutku. “Apa sang putri mau menunggu?”, tanyanya. “Itulah masalahnya, aku tak tahu, apakah sang putri mau menunggu sang pemuda papa itu?”, kataku. “Lho, kok gak tahu? Bukannya mas yang punya cerita?”, Maia menatapku, penasaran. Kujawab, “seperti yang kamu bilang, bahwa yang punya cerita adalah aku”. “Iya, lalu?” kata Maia. “Karena aku yang punya cerita maka aku berhak mereka-reka ceritanya kan?!”, kataku. “Lalu?”, kata Maia. “Bagaimana kalau jika sang pemuda papa itu aku. Dan sang putrinya adalah kamu?”.
Sang Putri tak menjawab.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani