Panji 7: Tikungan Jalan Baru


Sore ini seperti biasa menjelang jam 4 aku ber-siap untuk pulang. Posisi ku sekarang di Kampung Rambutan. Pas, sekali jalan lagi, setelah itu langsung ngibrit pulang. Baru sampai pada tikungan Jalan Baru, angkotku yang sedang kosong itu pun berjalan pelan. Tak tahu dari mana dia berasal, seorang anak usia berkisar enam belas tahunan, langsung saja naik ke dalam angkot ku dan mengatakan, “ayo bang, buruan bang, selamatkan aku bang”. Aku yang tak mengerti duduk persoalannya langsung tancap gas. Untunglah tidak sedang macet.
                “Ada apa, dik?” tanya ku. Sejenak anak itu kebingungan. Berkali-kali menengok ke belakang. Ia mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa itu. Sekilas ia melirikku. “Ada apa dik?”, tanya ku lagi. Sekarang ia menatapku menyelidik. Mungkin merasa aman, dia kemudian bercerita. “Aku lari dari kejaran orang-orang, bang. Mereka kira aku copet”, dia pun menunduk, berpaling dari tatapan mataku yang mengarah padanya. “Aku takut dihakimi mereka, bang”, lanjutnya. Aku benar-benar bisa merasakan ketakutan anak itu. “Tapi apa kau benar-benar nyopet?”, tanyaku. Anak itu menggeleng kecil tanpa bicara. Kemudian ia menatapku, seolah menimbang-nimbang sesuatu. “Terpaksa, bang”, katanya. Ku alihkan kaki ku ke pedal rem. Langsam saja. Seorang ibu setengah baya naik ke dalam angkotku. Sedang anak kecil yang semula berada di bangku belakang kini pindah ke jok depan di samping kiriku.
                “Ibuku sedang sakit, adikku sudah tiga hari belum makan”, lanjutnya. “Bapakmu?”, aku bertanya. “Meninggal empat bulan yang lalu, ditabrak orang”, katanya. Dadaku berdesir. “Dimana?”, kataku. “Apanya?”, anak itu tanya balik. “Bapakmu ditabrak dimana?”, kuperjelas pertanyaanku. “Cengger, tikungan setelah lampu merah Taman Mini, sebelum masuk terminal”, anak itu menjawab sambil menatapku. Aku tersentak. Tatapan ku tetap lurus ke jalan di depanku. “Rumahmu mana?”, tanyaku. “Kranggan”. “Dekat pasar Kranggan”, lanjutnya singkat. “Dapat berapa hari ini?”, aku bertanya sambil terus menatap jalan di depanku. Aku tahu dia sedang melihatku. “Ini hari pertama ku”, ia menjawab. “Pertama kali dan gagal”, lanjutnya. Sampai Pondok Gede angkot ku terisi 7 orang. Ibu-ibu yang di Garuda, 3 dari Halim dan 3 lagi dari Lubang Buaya. Tentu saja anak itu dan aku tak kuhitung. “Biar nanti ku antar kau pulang”, kataku pada anak itu. “Nanti setelah semua sewa turun”, lanjutku. “Baik, bang, terima kasih”, katanya. Tak ada cakap-cakitap lagi antara aku dan anak itu. Dan sewaku pun telah habis sebelum pertigaan Komsen. Sesampainya di pertigaan Komsen, kubanting setir ku ke kanan menuju Kranggan.
                Sebuah kontrakan petakan berukuran 3 x 3 meter. Dapur, tempat tidur, dan ruang tamu menyatu. Hanya di pisahkan selembar kain yang tergantung pada tali, antara dapur dan ruang tamu yang sekaligus tempat untuk tidur. Terbaring di atas tikar di situ, seorang ibu. Usianya kuperkirakan belum genap empat puluh tahun. Disampingnya tertidur seorang bayi usia 3 tahunan. Kukira itu ibu dan adik anak itu. Di dinding tergantung satu-satunya pigora seukuran kalender. Sebuah poto keluarga. Dan tatkala ku lihat seorang sosok bapak dalam poto itu. Astaga, tenggorokanku seketika tercekat. Ia adalah orang yang ku tabrak mati saat itu. Perhatianku berpaling ke ibu yang sedang sakit tadi, ketika ia berusaha bangun dari tempat tidurnya, bermaksud menyambut kedatanganku. “Sudah ibu berbaring saja. Ibu istirahat saja”, kataku. Tapi kata-kataku tak menghalangi maksudnya. Ia tetap bersi keras untuk duduk meski dengan susah payah. “Tong, bikinkan teh buat abangnya”, katanya memanggil anaknya. “Ini bu, sedang aku bikinkan”, kata anak itu dari balik tirai. “Aku tadi cuma mengantar si Entong pulang saja kok Bu. Saya tidak lama”, kataku. “Kebetulan tadi…”, aku berhenti berkata-kata sejenak melihat si Entong datang membawa secangkir teh hangat sembari memandangku dan mengedipkan mata. Aku tanggap dengan kode itu. “…kebetulan saya dan Entong sudah lama kenal di terminal. Dan tadi ketemu di jalan, sekalian saja aku antar pulang, sekalian pengen tahu rumah Entong”, kataku sekenanya. Ibu Entong mengangguk. “Hari ini rame Tong jualannya?”, tanya ibunya kepada Entong. “Rame, Mak, lumayan. Banyak yang beli rokok dan tisu ke Entong”, anak itu menjawab pertanyaan ibunya sembari melirikku. “Syukur deh”, kata ibunya. “Besok entong bisa beli obat buat emak, biar emak cepat sembuh dan bisa jualan lagi”, ujar si Entong. “Beliin susu dan bubur buat adikmu saja, emak gak pa pa, emak belakangan saja”, kata ibu entong. Aku hanya terdiam perih melihat kondisi mereka. Ini semua karena salahku. Perlahan-lahan trauma itu menyesaki dada dan meluber sampai otak ku. Tak mampu rasanya aku tahan rasa bersalah ini.
                Sore itu aku pun pamit ke ibu entong tanpa banyak basa-basi. Entong mengantarkan ku sampai mobil angkot yang ku parkir di luar gang. Semua uang yang ada di tas pinggangku, hasil tarikan hari ini,  kuberi-kan kepada Entong beserta recehnya. “Mulai besok kau ikut aku aja Tong”, kataku. “Kau bantu gunting sewa angkotku”, lanjutku. “Baik, Bang”, jawabnya singkat. “Kamu bisa nyetir mobil?”, tanyaku. “Tidak, Bang”, kata Entong. “Nanti kuajari kau nyetir mobil, biar kamu bisa narik angkot juga seperti abang”, aku menawarkan. “Baik, Bang”, jawabnya. Tak lama setelah itu, aku pun menyalakan mesin mobil ku dan langsung tancap gas pulang dengan dada dan kepala yang disesaki rasa bersalah.
                Sampai di rumah sekitar Maghrib. Ibu-ibu perumahan dan Maia pun sudah tak kelihatan di pos ronda. Mungkin sudah pulang. Ku cuci mobil angkot ku. Kuambil uang secukupnya dari tabungan yang ku taruh di lipatan buku ‘Tuntunan Shalat Wajib’ yang ku beli di Senen kala itu. Setoran hari itu kuambilkan dari tabunganku. Tepat sebelum Isya’ kelar sudah semua urusan dengan Bos Angkot. Seperti hari-hari sebelum-nya, di bulan Ramadhan ini, pada jam segitu, aku menunggu Maia mengajak jalan bareng menuju masjid untuk shalat Tarawih, tapi Maia tak muncul kali ini. Dan saat-saat dimana rasa bersalah ini memenuhi dada dan kepalaku, aku hanya butuh senyuman Maia untuk me-ringankannya. Bukan untuk menghilangkannya. Aku tahu ini tak akan pernah bisa hilang sampai kapanpun. Setidaknya jika ada Maia, aku bisa mendapatkan semacam suntikan semangat hidup.
                Maia dimana kau, aku butuh kamu.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS