Panji 9: Manusia Mahasiswa

Jabatan atau titel apapun, termasuk sebutan Mahasiswa, the agent of change, hanyalah manusia yang menyandangnya. Kalau pun ada istilah raja hutan atau jenderal kancil, manusia lah yang memberi sandangan. Maka kata-kata manusia menjadi sangat penting disini. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Tentu saja ciptaan-Nya. Nya, Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan pula manusia sebagai khalifah fil ardh.
                Mahasiswa, seperti yang sudah ku tulis sebelum-nya, karena peristiwa ’98, kubayangkan sebagai manusia yang berilmu jadug sundul langit yang memahami keber-ADA-annya. Sederhananya merekalah manusia yang memahami maksud Tuhan menciptakannya. Bahkan kualitas seperti mahasiswa inilah yang, sekali lagi, kubayangkan sebagai kualitas khalifah fil ardh itu. Dimana selalu bergulat dengan ilmu-ilmu yang akan membawa umat manusia menuju akhir yang baik. Mungkin kau akan menyebutku naif, tapi itu lah adanya. Kubayangkan, mahasiswa adalah sosok dimana tak pernah ia terlepas dari buku-buku dalam semangat mencari kesejatian yang tak henti-henti. Diajar oleh guru-guru yang mumpuni, yang mengantar sampai pintu gerbang kebenaran sejati. Huh.
                Baru awal-awal semester kuliah disini, terbukalah semuanya. Karena kemudian baru ku sadari bahwa aku telah terjebak dalam bayang-bayang sangkaan ku sendiri atas kata ‘mahasiswa’. Aku memilih jurusan teknik mesin, program kependidikan di kampus ini. Ku pikir, memperdalam background SMK Teknologi yang telah ku miliki. Meski rasa-rasanya aku sangat ingin sekali jurusan sastra. Aku berangkat ke kampus agak lebih pagi mengingat hari ini dijadwalkan Ujian Akhir Semester. Ujian Mekanika  Teknik. Kupersiapkan segala sesuatunya pagi ini setelah hampir sampai subuh membuka-buka pelajaran Mektek yang pernah diajarkan. Meski aku pernah menerima pelajaran Mekanika Teknik sewaktu SMK dulu, aku tak ingin meremehkan ujian kali ini. Aku mempersiapkan dengan serius untuk itu. Aku harus mendapat nilai yang bagus, tanpa melanggar satu pantangan ku sendiri yakni nyontek. Kau mungkin tak percaya, tapi aku tak butuh kau mempercayaiku. Dari Sekolah Dasar sampai SMK, aku tak pernah nyontek. Dan kau tahu, aku selalu mendapatkan ranking 3 besar dalam kelas. Bagi ku itu sama dengan tak jujur. Dan semenjak aku kecil, bapak ku selalu mengatakan bahwa kejujuran akan membawamu sesuatu yang benar. Bagaimanapun pahitnya jujurlah, maka ia akan membawamu kepada kemuliaan. Entah bagaimana bapak ku, yang tamatan Sekolah Rakyat itu, mendapat ‘rumus’ seperti itu, aku percaya saja. Anggapan ku tentang ‘mahasiswa’ yang manusia ‘super’ itu memperkuat keyakinan akan rumus itu. Namun lain angan-angan, lain pula kenyataan. Ujian Mektek kali ini tak berlangsung sesuai dengan angan-anganku. Tak ada itu yang namanya ‘proses’ yang sehat dan jujur. Para mahasiswa di kelas ini menggunakan cara-cara yang tak jujur, setelah beberapa saat ujian dimulai tanpa pengawasan dari dosen. Sang dosen mengatakan, “nanti kalau sudah selesai, kumpulkan di loker ku”, kemudian beliau ngeloyor pergi begitu saja. Walhasil, aku yang sudah pernah mendapat pelajaran Mektek ini di SMK, jawaban ujian ku dijadikanlah rujukan kawan-kawan yang lain, bebas tanpa pengawasan. Sambil masih terbengong-bengong dengan kenyataan yang tak sesuai dengan angan-angan ini, ku berikan saja kertas jawabanku pada mereka. Tentu kau lebih tahu apa resikonya jika tak ku berikan jawabanku, bukan? Dan aku pun menunggui mereka sampai selesai menyalin jawabanku. Dan hampir pasti mampu kukatakan mereka menulis jawaban sama persis dengan ku, bahkan tanpa menanyakan apa yang mereka tak mengerti dari jawabanku itu. Dan apakah kemudian nilai hasil ujian kami sama jelek atau sama baik? Jawabannya adalah TIDAK. Ada beberapa kawan, yang jelas-jelas menyalin sama persis dengan jawabanku, justru mendapat A. Sementara aku D, yang berarti tak lulus dan harus mengulang tahun depan.
                Kekecewaan ku atas kejadian itu bukanlah satu-satunya peristiwa yang membuat rasa ketidakberterima-an ku semakin menjadi-jadi. Semakin bertumpuk- tumpuk kekecewaan ku ketika mendapati kenyataan yang jauh tak sesuai dengan angan-anganku sebelum-nya. Beberapa hari yang lalu, telah tertangkap basah sepasang mahasiswa yang sedang mabok dan bermesum ria di salah satu sekretariat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di dalam kampus. Proposal-proposal kegiatan fiktif yang dilakukan oleh oknum mahasiswa yang butuh uang. Belum lagi gaya hidup mahasiswa yang jauh dari sikap prihatin. Kenyataannya sangat sedikit dari mereka yang membiasakan diri dengan membaca buku. Jauh dari angan-angan ku tentang kehendak yang tinggi dalam pencarian kebenaran. Disisi lain ketika mereka pulang ke kampung halaman, mereka disanjung masyarakat sebegitu hebatnya sehingga mereka bukan lagi digolongkan sebagai orang biasa, rakyat biasa, melainkan dimasukkan dalam golongan kaum intelek-tual, diagungkan sedemikian rupa, hingga dianggap serba tahu, serba bisa. Ah kenapa aku jadi tidak adil menilai mahasiswa, banyak juga kok sisi-sisi lain dari mahasiswa yang positif, mungkin aku saja yang tertipu dengan angan-anganku sendiri yang terlalu berlebihan mengenai mahasiswa, sedangkan kau tidak.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS