Pasemon

MASYARAKAT Jawa punya cara sendiri untuk menilai, juga mengkritik, orang lain. Cara tersebut adalah pasemon, yaitu kalimat sindiran yang halus, penuh lambang yang hampir tak teraba dan terbaca. Artinya, hanya orang-orang tertentu yang mengetahui arti kalimat sindiran itu. Tak hanya kepada orang biasa, para raja pun tak luput dari pasemon tersebut. Pasemon yang khusus ditujukan untuk kerajaan dan para raja ini biasa disebut praja.
Sindiran ini biasanya muncul sebagai konsekuensi logis dari sifat, sikap, dan perilaku raja yang dianggap kurang baik, misalnya raja yang memerintah dengan tangan besi, raja mata keranjang, atau raja yang sikapnya cengeng. Setidaknya terdapat 19 pasemon praja yang selama ini sering terdengar di masyarakat Jawa.
Bermacam pasemon praja tersebut, antara lain catur rana semune segara asat, yang artinya empat medan pertempuran layaknya samudera kering. Pasemon ini digunakan untuk menilai kerajaan Jenggala, Kediri, Singasari dan Urawan. Kalimat sindiran tersebut muncul, karena keempat kerajaan ini suka berperang, sehingga banyak menghabiskan kekayaan negara.
Yang kedua adalah ganda kentir semune liman pepeka, atau bau yang hanyut seperti gajah yang terlena. Sindiran ini ditujukan untuk Sri Pamekas, Raja Pajajaran. Raja besar yang sangat berkuasa tersebut dinilai kurang waspada, sehingga mati terbunuh oleh anaknya sendiri, yaitu Ciung Wanara. Mayat sang raja kemudian dihanyutkan ke sungai.
Selanjutnya adalah macan galak semune curiga kethul, yaitu harimau buas layaknya semata yang tumpul. Pasemon ini untuk Prabu Brawijaya V, raja terakhir di Kerajaan Majapahit. Sebagai raja yang besar pengaruhnya, Brawijaya V dinilai tidak mampu membuat kesejahteraan bagi rakyatnya.
Ada lagi, lunga perang putung watange atau berangkat berperang, namun patah busurnya. Pasemon ini merupakan gambaran bagi Kasultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Dengan didukung kekuatan para wali, kerajaan ini giat menaklukkan para adipati yang masih menganut ajaran lama. Namun mereka harus membayar mahal, karena banyak wali atau ahli agama yang gugur dalam pertempuran.
Alelungan datan kongsi bebasahan kaselak kampuhe bedhah. Artinya, bepergian belum sempat memakai pakaian kebesaran namun terlanjur ikat pinggangnya jebol. Kalimat ini untuk Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri Kasultanan Pajang. Sebagai rakyat kebanyakan, perjuangan Mas Karebet ini memang sangat panjang. Saat mencapai puncak, yaitu sebagai sultan, Hadiwijaya dia sudah tua dan tidak lama kemudian mangkat.
Dari Pajang, kita menuju Mataram. Ada pasemon untuk Panembahan Senopati -pendiri dinasti Mataram- yaitu sura kalpa semune lintang sinipat, yang berarti pohon besar layaknya bintang kepagian. Pasemon ini untuk Panembahan Senopati, karena keberanian dan semangatnya yang luar biasa untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang belum bersedia mengakui kekuasaannya. Namun sebelum seluruh keinginannya tercapai, Panembahan Senopati lebih dulu meninggal.
Selanjutnya adalah kembang sempol semune lebe kekethu, yaitu bunga teratai layaknya seorang kaum berkopyah. Ini bukan sidniran, tapi barangkali sebuah pujian untuk Sultan Hanyokrowati dan anaknya Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Kedua raja tersebut dianggap raja besar yang taat dan sangat tekun menjalankan perintah agama. Sekedar catatan, perhitungan tahun Jawa berdasarkan peredaran bulan seperti tahun Hijriyah dilakukan pada tahun 1555 atas perintah Sultan Agung. Sebelumnya perhitungan tahun Jawa dilakukan berdasarkan peredaran matahari.
Sebuah sindiran yang keras disampaikan masyarakat Jawa untuk Amangkurat I, yaitu kalpika sru semune kenaka putung, yang kurang lebih artinya sama dengan cincin yang kekecilan layaknya kuku yang patah. Selama masa pemerintahannya, Amangkurat I mengisi kekuasaannya dengan banyak tragedi; peperangan dan intrik, baik di dalam maupun di luar keraton. Banyak keluarga dekat, terrmasuk para panglima perang Mataram tewas dibunuh oleh sang raja sendiri dengan tuduhan terlibat pemberontakan.
Seperti ayahnya, Amangkurat II pun memperoleh pasemon. Yaitu layon keli semune satriya brangta, atau mayat yang hanyut layaknya satriya berduka. Pasemon ini muncul karena Amangkurat II dinobatkan sebagai raja saat sedang berduka. Ketika itu, ayahnya buron, dikejar-kejar musuh hingga akhirnya meninggal di Tegal, jauh dari istananya.
Pasemon untuk Pangeran Puger –kelak bergelar Paku Buwono I, lain lagi. Yaitu gunung kendheng semune kenya musoni. Asrtinya, Gunung Kendeng layaknya gadis sedang berhias). Saat merebut kekuasaan dari keponakannya sendiri, yaitu Amangkurat III –dan kemudian menjadi raja– Pangeran Puger sudah cukup tua yang digambarkan sebagai Gunung Kendheng. Namun di usianya yang tua, Paku Buwono I masih suka mengurusi hal-hal yang sepele.
Raja yang satu ini suka main perempuan, yaitu Amangakurat IV atau Amangkurat Jawi, putra Paku Buwono I, sehingga mendapat sindiran lung gadhung semune rara nglikasi . Yaitu bunga gadhung layaknya gadis sedang memintal benang. Amangkurat IV sebenranya raja yang tangkas, terampil, dan banyak menyelesaikan persoalan. Sayangnya, Raja Mataram yang satu ini gemar bermain perempuan.
Gajah meta semune tengu lelaken, atau gajah ngamuk layaknya binatang tengu yang sedang kawin. Sindiran ini untuk PB II, anak Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi. Dia dianggap sebagai raja yang kelihatan besar, gagah, perkasa, namun bernyali kecil seperti hewan tengu. Jika mendapat serangan lawan, PB II buru-buru meminta bantuan penguasa-penguasa di daerah lain.
Panji loro semune Pajang-Mataram, yang artinya dua pangeran layaknya Kerajaan Pajang dan Mataram. Kalimat ini menggambarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755, antara dua anak Paku Buwono II yang kemudian sepakat memecah Keraton Surakarta menjadi dua wilayah. Paku Buwono III tetap di Surakarta, sedang Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta bergelar Hamengkubuwono I (HB I). Pembagian daerahnya hampir sama dengan daerah yang dulu dikuasai Kerajaan Pajang dan Mataram awal.
Rara ngangsu semune randha loro nuntuti pijer atetukar; Gadis yang mencari air layaknya dua janda yang memburu dan saling bertengkar. Kalimat Ini mengisahkan pemberontakan bangsawan Keraton Surakarta, yaitu RM Said dan Pangeran Mangkubumi. Keduanya akhirnya menjadi raja. Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta, sedangkan RM Said mendirikan dinasti Mangkunegaran dan bergelar Mangkunegoro I –sesuai dengan perjanjian Salatiga antara RM Said dan Kasunanan Surakarta.
Sepanjang masa pemerintahan Paku Buwono IV dan Paku Buwono V, hanya diisi peperangan demi peperangan. Oleh klarena itu. Kedua raja Surakarta ini tak sempat memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pasemon utnuk kedua raja ini adalah tan kober apepaes amangun sinjang, artinya tidak sempat berhias dan merapikan pakaian.
Pasemon berikutnya adalah kala bendu semune Semarang-Tembayat, atau zaman sengsara layaknya Semarang dan Tembayat. Pasemon ini merupakan penggambaran perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Belanda kewalahan, sehingga banyak mendatangkan bala bantuan dari Semarang, untuk menggempur markas pertahanan awal Diponegoro di Klaten, sebelum dipindah ke Magelang. Perjalanan pasukan Belanda itu digambarkan seperti perjalanan Sunan Tembayat dari Semarang ke Tembayat di Klaten.
Tunjung putih semune pudhak sinumpet. Arti pasemon ini adalah teratai putih layaknya bunga pandan yang tertutup. Inilah penggambaran zaman yang sering disebut-sebut sebagai pencitraan kemerdekaan Indonesia. Teratai putih disebut sebagai sebagai pijakan suci yang baru, sedangkan kepemimpinan Soekarno saat itu dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali tak terduga, karena dia bukan berasal dari bangsawan tinggi.
Pasemon yang satu ini lumayan panjang, sebagai penggambaran zaman kemerdekaan atau era kehidupan baru di Jawa (Indonesia). Orang bisa santai dan bersenang-senang di jalanan tanpa terganggu peperangan. Tata etika pergaulan pun semakin cair, senjata tajam semakin tak berguna untuk perang, sehingga jika dijual hanya seharga makanan ringan. Pasemon itu berbunyi gandrung-gandrung ing lurung, andulu gelung kekendhon, keris parung tanpa karya, edolen tukokna uleng-uleng campur bawur.
PB XII mendapat pasemon yang bernada miris. Pasemon ini dilontarkan oleh Budayawan Jawa kenamaan, KRHT Kusumotanoyo, yang selain sebagai kerabat, juga penasehat spiritual PB XII. Bunyi pasemon untuk Paku Buwono XII itu adalah; kembang sungsang semune pudhak setegal. Artinya, kembang sungsang layaknya ladang bunga pandan. PB XII digambarkan sebagai kembang (raja) yang tumbuh sungsang (akar di atas). Sang Raja tak lagi memiliki kekuasaan, namun harus menghidupi kerabat dan keluarganya yang sangat banyak. Kita tahu, PB XII mempunyai 37 anak dari 6 istri selir. (Ganug Nugroho Adi)

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani