Posts

Showing posts from April, 2010

Sunan Kalijaga

1. Nama dan Asal-Usul Pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said. Kemudian ia disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurraman dan Pangeran Tuban.1 Di dalam Babad Tanah Jawi disebut bahwa Raden Said adalah putra Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Sedangkan Arya Wilatikta, ayah Sunan Kalijaga, menurut Babad Tuban, adalah putra Arya Teja. Disebutkan pula bahwa Arya Teja bukanlah seorang pribumi jawa. Ia berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama. Ia berhasil mengislamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan memperoleh seorang putrinya. Dengan jalan ini ia akhirnya berhasil menjadi kepala negara Tuban, menggunakan kedudukan mertuanya. Akan tetapi Babad Tuban tidak menjelaskan mengenai asal-usul Arya Wilatikta, ayahanda Sunan Kalijaga itu.2 Dalam Babad Cerbon naskah Nr. 36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa ayahanda Sunan Kalijaga bernama Arya Sidik, dijuluki “Arya ing Tuban” Arya Sadik dipastikan merupakan perubahan dari

Panji 9: Manusia Mahasiswa

Jabatan atau titel apapun, termasuk sebutan Mahasiswa, the agent of change, hanyalah manusia yang menyandangnya. Kalau pun ada istilah raja hutan atau jenderal kancil, manusia lah yang memberi sandang an. Maka kata-kata manusia menjadi sangat penting disini. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Tentu saja ciptaan-Nya. Nya, Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan pula manusia sebagai khalifah fil ardh .                 Mahasiswa, seperti yang sudah ku tulis sebelum-nya, karena peristiwa ’98, kubayangkan sebagai manusia yang berilmu jadug sundul langit yang memahami keber-ADA-annya. Sederhananya merekalah manusia yang memahami maksud Tuhan menciptakannya. Bahkan kualitas seperti mahasiswa inilah yang, sekali lagi, kubayangkan sebagai kualitas khalifah fil ardh itu. Dimana selalu bergulat dengan ilmu-ilmu yang akan membawa umat manusia menuju akhir yang baik . Mungkin kau akan menyebutku naif, tapi itu lah adanya.

Panji 8: Pintu Gerbang

Saat itu beberapa hari setelah lebaran. Aku pun pamit kepada bos angkot K40. Aku memilih mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Malang, setelah bos angkot tak mengijinkan aku untuk  minta narik angkot setengah hari setiap harinya, sementara setengah harinya ku buat kuliah. DIa menginginkan aku memilih dan fokus pada pilihan itu. Antara narik angkot dan kuliah. Kalau mau narik angkot, narik saja, kalau mau kuliah, fokus kuliah, katanya waktu itu. Maka hari itu aku memilih kuliah. Di Malang, karena lebih dekat dengan Kediri. Dan kupikir celengan ku sudah cukup, setidaknya untuk membayar biaya awal masuk sampai tiga semester ke depan. Saat itu belum ada sebulan setelah lebaran. Sedangkan Maia, sang putri, entah kemana. Bahkan dia tak pamit atau mengatakan apa-apa padaku. Pertemuan terakhir dengannya adalah bulan ramadhan malam ke 15, saat aku bercerita dan mengungkapkan rasa suka ku padanya waktu itu. Ku pikir Maia sedang pulang kampung dan

Panji 7: Tikungan Jalan Baru

Sore ini seperti biasa menjelang jam 4 aku ber-siap untuk pulang. Posisi ku sekarang di Kampung Rambutan. Pas , sekali jalan lagi, setelah itu langsung ngibrit pulang. Baru sampai pada tikungan Jalan Baru, angkotku yang sedang kosong itu pun berjalan pelan. Tak tahu dari mana dia berasal, seorang anak usia berkisar enam belas tahunan, langsung saja naik ke dalam angkot ku dan mengatakan, “ayo bang, buruan bang, selamatkan aku bang”. Aku yang tak mengerti duduk persoalannya langsung tancap gas. Untunglah tidak sedang macet.                 “Ada apa, dik?” tanya ku. Sejenak anak itu kebingungan. Berkali-kali menengok ke belakang. Ia mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa itu. Sekilas ia melirikku. “Ada apa dik?”, tanya ku lagi. Sekarang ia menatapku menyelidik. Mungkin merasa aman, dia kemudian bercerita. “Aku lari dari kejaran orang-orang, bang. Mereka kira aku copet”, dia pun menunduk, berpaling dari tatapan mataku yang mengarah padanya. “Aku takut

Panji 6: MAIAFANA

Rumah kontrak tempat aku tinggal ini terletak pojok blok F. Di depannya terdapat jalan membujur yang di ujungnya terdapat tikungan yang menghubung-kan blok F dan blok D maupun E. Berseberangan dengan rumah tempat tinggalku terdapat semacam Poskamling, dimana para ibu-ibu muda perumahan yang tinggal di sekitar seringkali ngemong atau ndulang anak-anaknya. Termasuk Maiafana. Dia belum lama di sini, katanya, belum genap tiga bulan. Dia ingin mencari kerja di Jakarta. Di kampung sepi nggak ada apa-apa, katanya waktu itu. Dia tinggal di rumah kakaknya di Blok D, blok tepat di seberang belakang rumah kontrakan ku. Dia berasal dari Tasikmalaya. Mungkin benar kata orang, bahwa orang sunda mah geulis-geulis pisan. Setidak satu bukti telah memperkuat kebenarannya. Maiafana, berkulit bersih, bibir tipis, hidungnya mungil. Rambutnya hitam ikal sebahu, meski tak banyak. Dan yang paling penting, kalau sedang itu tersenyum itu loh, ampun-ampun rasanya aku dibuatnya. Huh, gemes aku. Semenjak obr

Panji 5: Jiwa yang terbelah

Di dalam pesawat televisi kecil 6 inch peninggal-an orang yang terdahulu ngontrak di sini, yang tak lain adalah teman sekampungku yang kini nyopir di Tangerang itu, ku nyalakan. Sebuah tayangan pertunjukan sulap itu terlihat agak kabur. Setelah ku putar-putar antena, kini nampak jelas. Dengan tampilan ala komedian, seorang pesulap dengan mahir memain-mainkan tongkatnya. Entah sejak kapan aku selalu tak percaya sama tukang sulap. Mereka itu hanyalah tukang tipu. Dengan segudang rahasia trik-trik yang mereka sembunyikan untuk mengelabui penonton. Tapi kali ini aku tak berkeinginan mengubah chanel TV, mungkin karena sulapnya lucu. Ku perhatikan tingkah polah san pesulap memain-mainkan tongkatnya. Ajaib, tongkat sepanjang sekitar 40 sentimeter itu, entah bagaimana, kini memanjang. Kemudian memendek. Memanjang, memendek. Memanjang, memendek. Sang Pesulap berlagak lagu seperti orang yang membanggakan diri, seolah karena di mampu merubah tongkat itu mem