Posts

Showing posts with the label Janji di dalam Panji

Rindu

tatkala indahnya kata-kata malu pada yang nyata,,,indahnya membisu sedang gerakmu isyaratkan rindu,,,,huhuhuhu,,,tangi turu, langsung meracau,,,achhh,,kacau kacau,,,

Panji 9: Manusia Mahasiswa

Jabatan atau titel apapun, termasuk sebutan Mahasiswa, the agent of change, hanyalah manusia yang menyandangnya. Kalau pun ada istilah raja hutan atau jenderal kancil, manusia lah yang memberi sandang an. Maka kata-kata manusia menjadi sangat penting disini. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Tentu saja ciptaan-Nya. Nya, Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan pula manusia sebagai khalifah fil ardh .                 Mahasiswa, seperti yang sudah ku tulis sebelum-nya, karena peristiwa ’98, kubayangkan sebagai manusia yang berilmu jadug sundul langit yang memahami keber-ADA-annya. Sederhananya merekalah manusia yang memahami maksud Tuhan menciptakannya. Bahkan kualitas seperti mahasiswa inilah yang, sekali lagi, kubayangkan sebagai kualitas khalifah fil ardh itu. Dimana selalu bergulat dengan ilmu-ilmu yang akan membawa umat manusia menuju...

Panji 8: Pintu Gerbang

Saat itu beberapa hari setelah lebaran. Aku pun pamit kepada bos angkot K40. Aku memilih mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Malang, setelah bos angkot tak mengijinkan aku untuk  minta narik angkot setengah hari setiap harinya, sementara setengah harinya ku buat kuliah. DIa menginginkan aku memilih dan fokus pada pilihan itu. Antara narik angkot dan kuliah. Kalau mau narik angkot, narik saja, kalau mau kuliah, fokus kuliah, katanya waktu itu. Maka hari itu aku memilih kuliah. Di Malang, karena lebih dekat dengan Kediri. Dan kupikir celengan ku sudah cukup, setidaknya untuk membayar biaya awal masuk sampai tiga semester ke depan. Saat itu belum ada sebulan setelah lebaran. Sedangkan Maia, sang putri, entah kemana. Bahkan dia tak pamit atau mengatakan apa-apa padaku. Pertemuan terakhir dengannya adalah bulan ramadhan malam ke 15, saat aku bercerita dan mengungkapkan rasa suka ku padanya waktu itu. Ku pikir Maia sedang pulang kampung ...

Panji 7: Tikungan Jalan Baru

Sore ini seperti biasa menjelang jam 4 aku ber-siap untuk pulang. Posisi ku sekarang di Kampung Rambutan. Pas , sekali jalan lagi, setelah itu langsung ngibrit pulang. Baru sampai pada tikungan Jalan Baru, angkotku yang sedang kosong itu pun berjalan pelan. Tak tahu dari mana dia berasal, seorang anak usia berkisar enam belas tahunan, langsung saja naik ke dalam angkot ku dan mengatakan, “ayo bang, buruan bang, selamatkan aku bang”. Aku yang tak mengerti duduk persoalannya langsung tancap gas. Untunglah tidak sedang macet.                 “Ada apa, dik?” tanya ku. Sejenak anak itu kebingungan. Berkali-kali menengok ke belakang. Ia mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa itu. Sekilas ia melirikku. “Ada apa dik?”, tanya ku lagi. Sekarang ia menatapku menyelidik. Mungkin merasa aman, dia kemudian bercerita. “Aku lari dari kejaran orang-orang, bang. Mereka kira aku copet”, dia pun...

Panji 6: MAIAFANA

Rumah kontrak tempat aku tinggal ini terletak pojok blok F. Di depannya terdapat jalan membujur yang di ujungnya terdapat tikungan yang menghubung-kan blok F dan blok D maupun E. Berseberangan dengan rumah tempat tinggalku terdapat semacam Poskamling, dimana para ibu-ibu muda perumahan yang tinggal di sekitar seringkali ngemong atau ndulang anak-anaknya. Termasuk Maiafana. Dia belum lama di sini, katanya, belum genap tiga bulan. Dia ingin mencari kerja di Jakarta. Di kampung sepi nggak ada apa-apa, katanya waktu itu. Dia tinggal di rumah kakaknya di Blok D, blok tepat di seberang belakang rumah kontrakan ku. Dia berasal dari Tasikmalaya. Mungkin benar kata orang, bahwa orang sunda mah geulis-geulis pisan. Setidak satu bukti telah memperkuat kebenarannya. Maiafana, berkulit bersih, bibir tipis, hidungnya mungil. Rambutnya hitam ikal sebahu, meski tak banyak. Dan yang paling penting, kalau sedang itu tersenyum itu loh, ampun-ampun rasanya aku dibuatnya. Huh, gemes aku. Semenjak obr...

Panji 5: Jiwa yang terbelah

Di dalam pesawat televisi kecil 6 inch peninggal-an orang yang terdahulu ngontrak di sini, yang tak lain adalah teman sekampungku yang kini nyopir di Tangerang itu, ku nyalakan. Sebuah tayangan pertunjukan sulap itu terlihat agak kabur. Setelah ku putar-putar antena, kini nampak jelas. Dengan tampilan ala komedian, seorang pesulap dengan mahir memain-mainkan tongkatnya. Entah sejak kapan aku selalu tak percaya sama tukang sulap. Mereka itu hanyalah tukang tipu. Dengan segudang rahasia trik-trik yang mereka sembunyikan untuk mengelabui penonton. Tapi kali ini aku tak berkeinginan mengubah chanel TV, mungkin karena sulapnya lucu. Ku perhatikan tingkah polah san pesulap memain-mainkan tongkatnya. Ajaib, tongkat sepanjang sekitar 40 sentimeter itu, entah bagaimana, kini memanjang. Kemudian memendek. Memanjang, memendek. Memanjang, memendek. Sang Pesulap berlagak lagu seperti orang yang membanggakan diri, seolah karena di mampu merubah tongkat itu mem...

Panji 4: Waspadalah! Jalanan tak pernah sepi

Saat itu bulan ramadhan, entah hari ke berapa, aku lupa. Teman-teman rombongan TKI telah berpencar. Sebagian besar mereka telah pulang ke kampung halaman. Sementara sebagian sisanya pergi entah kemana. Seperti ketika aku berangkat dari Jakarta- Borneo beberapa bulan yang lalu, butuh waktu tiga hari dua malam menuju Jakarta menempuh perjalanan laut. Namun kali ini aku numpang kapal barang yang kebetulan menuju Jakarta. Aku menceritakan perihal kegagalan keberangkatan ku ke Malaysia kepada pemilik kapal. Mungkin pemilik kapal merasa kasihan sehingga aku diijinkan numpang di kapalnya. Selama tiga hari dua malam itu aku diberi makan sahur dan buka. Syukurlah. Hampir subuh kapal pun merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Aku tak tahu harus ke mana . Sementara di kantung celanaku masih terselip selembar lima puluh ribuan pemberian seorang kawan di surau itu sehari sebelum aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Aku tak menghubungi keluarga di desa. Aku takut membuat mereka bersedih atas ke...

Panji 3: Si Toke telah lari

Setelah ku tahu kendala untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, aku pun berencana untuk bekerja. Dan ku putuskan untuk mencoba peruntungan di negeri tetangga, Malaysia. Kasihan juga melihat bapak dan emak mendatangi beberapa saudara dan tetangga untuk meminjam sejumlah uang kepada mereka bakal modalku ke Malaysia. Acara pinjam meminjam seperti ini bukanlah yang pertama, akan tetapi sebelumnya pun emak tak jarang melakukannya, dulu sewaktu kami anak-anaknya masih sekolah. Tapi emak selalu menepati janji mengembalikan utangnya tepat waktu, tak pernah terlambat seharipun. Sehingga emak masih selalu dipercaya saudara dan tetangga soal pinjam meminjam uang seperti itu. Tapi meskipun begitu, bukan perkara mudah untuk mendapat pinjaman uang sebesar 5 jutaan di desa kami. Bukan karena alasan lain, hanya memang desa kami masih jauh dari titik kecukupan. Satu dua orang kaya di desa kami, entahlah, sepertinya tidak mempercayai orang-orang miskin seperti kam...

Panji 2: Bukan TANI, tapi buruh tani

Begitu hebatnya kekagumanku terhadap sosok mahasiswa. Hingga tak kurasakan aku mulai sering memimpikan menjadi seorang mahasiswa yang kubayang-kan. Aku lupa satu hal yang bisa dikatakan sangat penting dalam kehidupan nyata. Ya, kau benar, uang untuk biaya. Sementara kau tahu sendiri, aku dilahirkan dari seorang petani kecil di kampung dimana kuliah adalah suatu hal yang mewah dan mahal. Aku masih ingat sekali ketika masih Sekolah Dasar dulu. Suatu ketika aku membawa formulir yang harus diisi mengenai apa pekerjaan orang tua. Saat itu aku mengisinya dengan TANI, seketika itu juga bapakku bilang “…tani iku yen duwe sawah dhewe, yen ora, yo berarti buruh tani…” (…disebut TANI itu jika punya sawah sendiri, kalau tidak, ya berarti BURUH TANI). Dan memang begitulah adanya, bapakku memang kesehariannya bekerja di sawah, tapi tak punya sawah sendiri, melainkan sawah orang lain. Mulai saat itu tiap kali aku disodori formulir serupa waktu SMP maupun SMK Teknologi, pekerjaan orang tua:, kutuli...

Panji 1: Sang pencari

Image
           Tak ada peristiwa yang sangat mempengaruhiku pada awal –awal usia mudaku kecuali peristiwa 98 yang meruntuhkan kekuatan rezim Suharto oleh mahasiswa di negeri ini. Mahasiswa dan beberapa tokoh nasional dengan mengatas-namakan rakyat Indonesia dan demokrasi berhasil menyeruak memasuki gedung-gedung pemerintahan menuntut lengsernya presiden republik ini yang selama berpuluh tahun berkuasa. Bahkan telah mulai berkuasa puluhan tahun sebelum aku lahir.             Saat itu aku masih kelas 2 Sekolah Teknologi di sebuah kota kecil, Kediri. Betapa aku masih ingat waktu di televisi menyiarkan peristiwa bersejarah itu dimana puluhan ribu atau bahkan mungkin ratusan ribu mahasiswa nasional bersama berbagai elemen masyara-kat tumpah-ruah menyuarakan hal yang senada, yakni demokrasi. Tak hanya di ibu kota Jakarta, gerakan mahasiswa ini juga dii...