Panji 5: Jiwa yang terbelah


Di dalam pesawat televisi kecil 6 inch peninggal-an orang yang terdahulu ngontrak di sini, yang tak lain adalah teman sekampungku yang kini nyopir di Tangerang itu, ku nyalakan. Sebuah tayangan pertunjukan sulap itu terlihat agak kabur. Setelah ku putar-putar antena, kini nampak jelas. Dengan tampilan ala komedian, seorang pesulap dengan mahir memain-mainkan tongkatnya. Entah sejak kapan aku selalu tak percaya sama tukang sulap. Mereka itu hanyalah tukang tipu. Dengan segudang rahasia trik-trik yang mereka sembunyikan untuk mengelabui penonton. Tapi kali ini aku tak berkeinginan mengubah chanel TV, mungkin karena sulapnya lucu. Ku perhatikan tingkah polah san pesulap memain-mainkan tongkatnya. Ajaib, tongkat sepanjang sekitar 40 sentimeter itu, entah bagaimana, kini memanjang. Kemudian memendek. Memanjang, memendek. Memanjang, memendek. Sang Pesulap berlagak lagu seperti orang yang membanggakan diri, seolah karena di mampu merubah tongkat itu memanjang dan memendek. Sampai, masih dalam bagian akting pertunjukan sulap, tongkat itu memanjang, terus memanjang, terus memanjang. Kini  sang pesulap bertingkah layaknya itu kesalahan yang tak mampu ia kendalikan. Tongkat itu terus memanjang. Sampai pada panjang tertentu tongkat kaku itu dengan sekali sentak kini telah berubah menjadi tali. Lunglai. Sontak disambut tepuk tangan penonton dalam TV. Aku tersenyum. Sejenak lupa peristiwa tabrak mati. Acara  sulap-sulapan selesai.
                Setelah ku matikan TV, ku perhatikan kamar kontrakan. Sudah hampir lima minggu setelah peristiwa tabrak mati. Kondisinya seperti kapal pecah. Sumpek. Baju-baju kotor, buku-buku bekas, abu rokok dan puntung yang luber dari asbaknya, semuanya berantak-an. Ku buka jendela kamarku yang jarang terbuka. Angin segar dari luar merasuki kamar. Diam-diam aku menikmati udara segar itu. Berniat bersih-bersih, belum sempat aku beranjak mengambil sapu dan kain pel, di seberang jalan yang tampak dari sudut jendela, melintas seorang gadis manis mengendarai sepeda federalnya melirik kemudian tersenyum. Aku pun ikut tersenyum membalas senyumannya. Tapi roda sepeda federalnya terus melaju hingga menghilangkannya di tikungan jalan.
                Setelah beres bersih-bersih kamar kapal pecah itu, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 4 sore. Ku biarkan saja jendela kamar dan pintu terbuka. Selama ini aku jarang membukanya. Pagi ku tinggal bekerja, mereka tertutup. Pulang-pulang sudah malam, mereka masih tertutup. Begitu seterusnya. Karat-karat yang menyelimuti engsel-engsel menjadikannya susah ter-buka tadi. Tapi syukurlah, sekarang dia terbuka lebar dan menghirup lebih banyak oksigen ke dalam ruangan kamar kontrakan. Hari ini beres bersih-bersih dalam rumah. Besok aku berencana membersihkan bagian luar rumah. Rumput-rumput di halaman itu sudah lama tak ku sentuh. Aku sudah lupa kapan terakhir menata dan merapikannya. Bunga-bunga di pot teras rumah pe-ninggalan orang yang kontrak terdahulu pun sudah sebagian besar mati.
                Esok paginya. Aku berangkat pagi-pagi sekali ke penjual bunga. Aku pilih mawar merah, melati, sedap malam. Aku berencana menanam mereka di pot-pot teras rumah. Setelah selesai membayar, aku beranjak meninggalkan toko penjual bunga itu. Namun sekelebat, dari sudut mata ku terlihat bunga yang menarik perhatianku. Letaknya memang agak tertutup oleh bunga-bunga lain. Bunganya sangat sederhana dalam bentuk bahkan sebagai tanaman hias, menurutku, dia cenderung tak begitu menarik dan tak memenuhi syarat fungsi tanaman hias. Mungkin karena alasan tersebut, si penjual bunga meletakkannya di bawah bunga-bunga yang lain.  Bunganya sendiri sebenarnya kecil-kecil, tapi karena menggerombol maka terlihat bulat besar. “Itu bunga pancawarna”, kata si penjual bunga. Si penjual bunga memberitahuku bahwa bunga ini bisa berubah-ubah warna bergantung keasaman tanahnya. Awal mekar dia putih, kuning, biru, semburat keunguan, merah dan atau beranjak jingga. Beda keasaman tanah beda juga warnanya. Aku tertarik dengan bunga itu. Justru karena dia sangat sederhana. Dan aku pun membeli satu-satunya bunga pancawarna yang tersisa di toko bunga itu. Beberapa pelanggan yang semuanya perempuan itu senyum-senyum melihatku memborong banyak bunga itu. Aku tak mau mereka-reka apa maksud mereka.
                Tak terasa pulang dari toko bunga sudah hampir masuk dhuzur. Tak menunggu lama lagi, aku mem-persiapkan sabit dan cangkul. Ku rapikan dulu rerumput-an di halaman, baru ku siapkan tanah dan pot untuk tanaman itu. Satu per satu ku masukkan bunga-bunga hias ke dalam pot-potnya masing-masing. Pertama melati, kedua sedap malam, ketiga mawar dan bunga pancawarna ku tanam di pot yang paling besar. Setelah itu ku bersihkan sisa-sisa rumput dan tanah yang tercecer. Dan beres sudah. Halaman ku kini nampak lebih asri dan rapi.
Lama sekali aku pandangi halaman baru ku. Kemudian akupun terlamun. Masih terbayang dalam lamunanku peristiwa tabrak mati itu. Aku meringis menahan tangis. Sampai akhirnya ku tersadar ketika terdengar suara anak-anak kecil dari balik tembok rumah, di tikungan jalan itu. Tak lama, muncullah dua anak kecil umur 6 dan 4 tahunan. Diikuti seseorang…Hei, dia gadis manis yang waktu itu. Dia sedang membawa semakok makanan. Kelihatannya untuk anak-anak itu. Hah, si gadis manis sudah punya dua anak? Huf, aku terlambat? Apa yang ku batin tadi seketika pecah ketika si gadis manis mulai tersenyum padaku. “Hai,..”, katanya sambil tersenyum. Ku balas hai juga. Dan kami pun ngobrol. Dan segera terjawab pertanyaan dalam batin ku tadi. Anak-anak itu adalah anak-anak kakaknya. Dia baru beberapa bulan yang lalu tiba disini. Dia ingin mencari kerja di sini. Sementara menunggu panggilan interview dia tinggal di rumah kakaknya. Kakaknya tinggal di blok belakang rumah kontrakanku. Maka yang diasuhnya itu adalah keponakannya, bukan anaknya. Hatiku mekar, belum terlambat. Kami cukup lama juga ngobrol di pinggir jalan dekat pos jaga depan rumah kontrakanku itu. Entahlah, pertama kali ku lihat dia tempo hari, dadaku berdesir jadinya. Pun begitu pula kali ini. wajahnya yang bulat, hidungnya yang mungil, matanya yang selalu berbinar tajam, serta bibrnya yang tipis. Dan yang paling tak mungkin terlupakan, cara dia tersenyum. Oh tidak, sulitnya aku mengungkapkan. Tapi ku rasakan ada sesuatu, yang entah apa, semacam kengerian yang luar biasa menakutkan ketika ku tatap matanya dengan alis yang sedikit naik di bagian ujung. Aku seperti takhluk oleh senyumannya. Sekaligus takhluk oleh sesuatu yang menakutkan di baliknya.
Mungkin sudah sejam lebih kami ngobrol. Selama itu pula, susah payah, ku tahan dadaku yang berdesir-desir. “Udah dulu yach. Udah sore nih. Anak-anak belum mandi”, katanya mengakhiri obrolan untuk pamit. Sebelum kami sama-sama beranjak meninggalkan tempat itu,  aku sempat menanyakan namanya. Dia menjawab, MAIAFANA

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS