Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani
“Cahaya dari beberapa orang mendahului dzikir mereka, sementara
dzikir beberapa orang mendahului cahaya mereka. Ada seseorang yang
melakukan dzikir keras sehingga hatinya menjadi terang; dan ada yang
hatinya sudah diterangi dan dia melakukan dzikir diam.”
Ibn ‘Ata’Allah.
Beliau dikenal sebagai Syaikh Penuh Keajaiban, Seseorang yang Bersinar Bagaikan Matahari, dan Syaikh maqam-maqam spiritualitas yang tinggi pada zamannya. Beliau adalah seseorang yang Berilmu Sempurna (‘arif kamil) dalam sufisme dan pencapaian dalam asketisme. Beliau dianggap Sumber Thariqah Sufi Terhormat ini dan Mata Air Khwajagan (Syaikh Asia Tengah).
Ayah beliau adalah Syaikh ‘Abdul Jamil, seorang ulama paling terkenal pada masa Bizantin dalam pengetahuan lahir dan bathin. Ibu beliau seorang putri, anak dari Raja Seljuk Anatolia.
‘Abdul Khaliq dilahirkan di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara dimasa sekarang dikenal sebagai Uzbekistan. Disana beliau menetap, meninggalkan hidupnya dan dimakamkan. Beliau adalah seorang keturunan Imam Malik (r). Dimasa kanak-kanak beliau mempelajari Qur’an dand tafsir-nya (penjelasan), ‘ilm al-Hadits (Ilmu tentang tingkah laku Kenabian), ilmu bahasa Arab, ilmu Hukum bersama Syaikh Sadruddin. Setelah menguasa Syari’ah (ilmu perundang-undangan Islam) beliau bergerak ke jihad an-nafs (perjuangan spiritual), hingga beliau meraih sebuah maqam tinggi kemurnian. Kemudian beliau pindah ke Damaskus, disana beliau membangun sebuah sekolah yang darinya banyak murid telah lulus. Satu per satu murid menjadi seorang ahli fiqih dan hadist sebaik dalam spiritualitas, keduanya di wilayah Asia Tengan yang dikenal sebagai Timur Tengah.
Pengarang buku al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau mencapai maqam tinggi bersama Rantai Emas: “Beliau bertemu dengan Khidr (as) dan menemaninya. Beliau mengambil pengetahuan surgawi dari Khidr (as) dan menambahkannya ke pengetahuan spiritual yang beliau peroleh dari Syaikhnya, yaitu Yusuf al-Hamadani.
“Satu hari ketika beliau sedang membaca Kitab Suci Al Qur’an dihadapan Syaikh Sadruddin, beliau menjumpai ayat berikut: “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al A’Raaf 7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk meminta keterangan kepada Syaikh Sadruddin mengenai realitas dari dzikir diam dan metodanya. Pertanyaan ‘Abdul Khaliq adalah: “Dalam dzikir keras kau harus menggunakan lidah dan orang lain mungkin akan mendengar dan melihatmu, sementara dalam dzikir diam hati setan mungkin akan memperhatikan dan melihatmu, sejak Sang Nabi berkata dalam hadist suci beliau: ‘Setan bergerak bebas dalam vena (pembuluh darah) dan urat nadi (arteri) Anak-anak Adam.’ Lalu apakah, wahai Syaikh Sadruddin-ku, realitas dari ‘Seruan dalam kesunyian dari kalbu-kalbumu?’ Syaikh beliau menjawab, ‘Wahai putraku, ini tersembunyi, pengetahuan surgawi, dan aku berharap bahwa Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa mengirimkan kepadamu salah seorang wali-Nya untuk memberikan inspirasi pada lidah dan kalbumu tentang realitas dari rahasia dzikir.’
“Sejak saat itu Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani menunggu terkabulnya do’a tersebut. Satu hari beliau bertemu dengan Nabi Khidr (as) yang memberitahukan, ‘Kini, putraku, aku telah diberi izin dari Sang Nabi untuk memberi inspirasi pada lidah dan kalbumu tentang dzikir tersembunyi dan jumlahnya.’ Nabi Khidr (as) memerintahkan beliau untuk mencelupkan diri ke dalam air dan mulai melakukan dzikir ini dalam kalbunya, yaitu LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH. Beliau melaksanakan bentuk dzikir ini setiap hari sampai Cahaya Illahiah, Kebijakan Illahiah, Kecintaan Illahiah dan Hiburan Illahiah dibukakan di kalbunya. Karena karunia-karunia itu, orang-orang mulai tertarik kepada ‘Abdul Khaliq dan mencari untuk mengikuti langkah-langkah beliau, dan beliau membawa mereka untuk mengikuti langkah-langkah Sang Nabi .
“Beliau adalah orang pertama dari Thariqah Sufi terhormat ini yang menggunakan Dzikir Diam dan dianggap sebagai Tuan dari bentuk dzikir tersebut. Ketika Syaikh spiritual beliau yaitu al-Ghawth ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani, datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktu untuk melayani Syaikhnya. ‘Abdul Khaliq berbicara mengenai Syaikhnya, ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syaikh Yusuf al-Hamadani memerintahkan Khidr (as) untuk tetap menaikkan dan mengawasiku hingga aku tiada.”
Syaikh Muhammad Parsa, seorang teman dan penulis riwayat hidup Shah Naqsyband, menulis dalam bukunya yang berjudul Faslul-Kitab, bahwa metoda Khwaja ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani dalam berdzikir dan ajaran beliau yaitu 8 Prinsip telah digunakan dan diserukan oleh seluruh 40 thariqah sebagaimana jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Sang Nabi , dengan meninggalkan bid’ah dan secara seksama melawan nafsu-nafsu rendah. Karenanya beliau menjadi Master dizamannya dan yang Pertama dalam garis spiritualitas ini.
Reputasi beliau sebagai seorang yang telah memperoleh Master spiritual menjadi tersebar luas. Para pengunjung biasa berkerumun untuk melihat beliau dari setiap arah. Beliau mengumpulkan murid-murid yang setia dan tulus disekitarnya yang sedang beliau latih dan ajari. Dengan kehormatan ini, beliau menulis sebuah surat kepada putranya yaitu al-Qalb al-Mubarak Shaykh Awliya al-Kabir, untuk memerinci tingkah laku para pengikut Thariqah ini. Disebutkan:
“Wahai puteraku, aku mendorongmu untuk memperoleh pengetahuan dan tingkah laku yang benar dan takut kepada Allah. Ikutilah langkah-langkah Salaf yang shaleh (generasi awal). Pegang erat Sunnah Sang Nabi , dan bergaullah dengan orang-orang beriman yang tulus. Bacalah ilmu hukum dan kisah kehidupan Sang Nabi dan tafsir Qur’an. Jangan pedulikan penipu-penipu, dan jagalah ibadah dalam urutannya. Waspada terhadap ketenaran dan bahayanya. Beradalah ditengah-tengah orang-orang biasa dan tidak menjadi jabatan. Jangan masuki persahabatan dengan para raja dan anak-anak mereka tidak juga dengan para pelaku bid’ah. Tetap diam, jangan makan dan jangan tidur secara berlebihan. Berlarilah dari orang-orang seperti kau akan lari dari macan-macan. Tetap melakukan khalwat. Makanlah makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang menimbulkan keragu-raguan kecuali dalam keadaan yang mendesak. Menjauhlah dari kecintaan terhadap dunia bawah karena itu akan sangat menarik hatimu. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menyebabkan matinya kalbu. Jangan memalukan siapa pun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang. Jangan meminta kepada siapa pun kecuali Allah. Jangan meminta orang untuk melayanimu. Layanilah Syaikh-Syaikhmu dengan uang dan kekuatanmu dan jangan mengkritik tingkah laku mereka. Siapa pun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena dia tidak mengerti mereka. Buatlah perbuatanmu tulus dengan berniat hanya untuk Allah. Do’akan Dia dengan kerendah hatian (tawadhu’). Buatlah hukum bagi urusanmu, masjid, rumah, Shahabat dan Tuhan-mu.”
Prinsip Thariqah Naqsybandi
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butiran-butiran renungan berikut yang kini dianggap sebagai Prinsip Thariqah Sufi Naqsybandi:
1. Bernafas Secara Sadar (“Hosh dar dam”)
Hosh berarti “pikir”. Dar berarti “dalam”. Dam berarti “nafas”. Artinya, berdasarkan ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q.s), bahwa”
“Pencari/pejalan/murid yang bijak harus melindungi nafasnya dari kealpaan, menarik dan menghembuskan nafas, dengan itu menjaga kalbunya selalu berada dalam Hadirat Allah; dan dia harus menghidupkan nafasnya dengan pengabdian dan penghambaan dan mempersembahkan penghambaan tersebut kepada Tuhan-nya penuh dengan kehidupan/kegairahan, karena setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadirat itu adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Illahi. Setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan dengan kecerobohan adalah mati, terputus dari Hadirat Illahi.”
Ubaidullah al-Ahrar (q.s) berkata, “Misi paling penting bagi para pencari (saalik) dalam Thariqah ini adalah untuk melindungi nafasnya, dan dia yang tidak bisa menjaga nafasnya, baginya akan dikatakan, ‘dia telah kehilangan dirinya.’ “
Shah Naqsyband (q.s) berkata, “Thariqah ini dibangun di atas nafas. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi setiap orang untuk melindungi nafasnya pada waktu menarik dan menghembuskan dan selanjutnya, untuk melindungi nafasnya dalam interval (jangka waktu) antara menarik dan menghembuskan nafas.”
Syaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal, “Dzikir mengalir dalam setiap tubuh makhluk hidup oleh keharusan bernafas -bahkan tanpa berniat sekali pun- sebagai satu tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka.
Melalui nafas, bunyi huruf “Ha” dari Asmaul Husna Allah dibuat dalam setiap tarikan dan hembusan nafas dan itu adalah sebuah tanda Dzat Tidak Terlihat dalam melayani penitik beratan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu menghadirkan nafas, supaya merasakan Dzat Sang Pencipta.”
Nama ‘Allah’ yang melingkupi 99 buah Nama-nama dan Atribut-atribut terdiri dari 4 huruf, yaitu Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Kaum Sufi menyebutkan bahwa kemutlakan Dzat tidak nampak dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa diekspresikan oleh huruf terakhir yang dihidupkan oleh Alif, yaitu “Ha.” Huruf ini mewakili Kemutlakan Dia yang Tidak Nampak (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta’rif) dan Lam kedua adalah untuk penitik beratan (mubalagha).
Melindungi nafasmu dari kecerobohan akan menuntunmu kepada Hadirat-Nya secara utuh, dan Hadirat-Nya yang utuh tersebut akan menuntunmu kepada Penglihatan utuh, dan Penglihatan utuh akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) dari 99 Asmaul Husna Allah. Allah akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) 99 Nama-nama dan Atribut-atribut-Nya dan seluruh Atribut-Nya yang lain, karena dikatakan, ‘Atribu-atribut Allah adalah sebanyak nafas ummat manusia.”
Ini harus diketahui oleh semua orang bahwa menyelamatkan nafas dari kecerobohan adalah suatu yang sulit bagi para saalik. Oleh karena itu mereka harus melindunginya dengan mencari pengampunan (istighfar) karena mencari pengampunan akan menyucikan dan mempersiapkan para saalik untuk Perwujudan (tajalli) Sesungguhnya dari Allah yang berada dimana-mana.
2. Perhatikan Langkahmu (“Nazar bar qadam”)
Artinya bahwa para saalik sewaktu berjalan hendaknya harus menjaga pandangan tertuju kepada kakinya. Kemana pun kakinya melangkah, pandangan mata harus tetap disana. Dia tidak diperkenankan untuk melemparkan pandangan ke sana sini, melirik ke kanan atau kiri atau ke depannya, karena pemandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbu. Kebanyakan tabir di kalbu diciptakan oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata ke pikiran selama menjalani kehidupan sehari-harimu. Hal ini dapat saja mengangggu kalbu dengan guncangan karena berbagai jenis keinginan yang sudah tercetak di dalam pikiran. Bayangan-bayangan ini seperti tabir yang menutupi kalbu. Bayangan ini menghadang Cahaya Hadirat Illahiah. Inilah mengapa para wali Sufi tidak membolehkan pengikut mereka -yang sudah membersihkan kalbu melalui dzikir yang berkesinambungan- untuk melihat selain dari kaki mereka. Kalbu mereka laksana cermin yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudahnya. Gambar ini akan menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kotoran ke kalbu mereka. Jadi para saalik diperintahkan untuk merendahkan pandangan agar tidak diserbu oleh anak-anak panah setan.
Merendagkan pandangan juga merupakan suatu tanda kerendahan hati (tawadhu’); orang yang bangga dan sombong tidak pernah melihat ke kaki mereka sendiri. Itu juga satu indikasi bahwa seseorang yang mengikuti jejak langkah Sang Nabi , yang ketika berjalan tidak pernah melihat ke kanan atau kiri tapi terbiasa hanya melihat kakinya, bergerak dengan tegas dan mantap ke arah tujuannya. Ini juga suatu tanda dari ketinggian maqam bila seorang saalik tidak pernah melihat kecuali ke arah Tuhan-nya. Seperti orang yang ingin mencapai tujuannya dengan cepat, begitu juga dengan para pencari Hadirat Illahiah Allah yang bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau kirinya, tidak juga melihat keinginan-keingian duniawi, tapi hanya melihat Hadirat Illahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q.s) mengatakan dalam surat yang ke 295 dari Maktubat beliau:
“Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Mi’raj (perjalanan mendaki) ke tingkatan yang lebih tinggi pertama-tama oleh Penglihatan, diikuti Langkah. Ketika Langkah mencapai tingkatan Ketinggian Pandangan, kemudian Pandangan akan dinaikkan ke tingkat berikutnya, dan karenanya Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Kemudian Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Dan begitulah seterusnya hingga Pandangan meraih sebuah tingkat Kesempurnaan dan ke arah itulah Langkah akan ditarik. Kita katakan, ‘Bila Langkah mengikuti Pandangan, murid sudah mencapai tingkat Kesiapan dalam mendekati Jejak Langkah Sang Nabi . Maka Jejak Langkah Sang Nabi disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah.”
Shah Naqsyband (q.s) mengatakan, “Jika kami melihat kesalahan-kesalahan teman kita, maka kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tidak seorang pun yang sempurna.”
3. Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)
Artinya perjalanan pulang ke kampung halaman. Artinya bahwa perjalanan para saalik dari dunia ciptaan menuju dunia Sang Pencipta. Ini diceritakan bahwa Sang Nabi berkata, “Aku akan mengunjungi Tuhan-ku dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik dan dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa para saalik harus melakukan perjalanan dari Keinginan yang cenderung kepada hal-hal terlarang ke Keingingan untuk Hadirat Illahiah.
Thariqah Sufi Naqsybandi membagi perjalan menjadi 2 buah kategori. Kategori pertama adalah perjalanan lahir dan yang kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan lahir adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna untu membawa dan mengarahkan ke sasaran yang dituju. Ini memungkinkan para saalik untuk bergerak ke kategori kedua, yaitu perjalanan bathin. Saalik, sekali mendapatkan seorang pembimbing yang sempurna, maka terlarang baginya untuk melakukan perjalanan lahir lainnya. Dalam perjalanan lahir terdapat banyak kesulitan yang tidak sanggup ditanggung oleh para pemula tanpa jatuh dalam perbuatan-perbuatan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan bathin memerlukan para saalik untuk meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, melempar keluar semua keinginan duniawi dari kalbunya. Dia akan dinaikkan dari sebuah keadaan yang tidak bersih ke keadaan bersih. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan bathin lainnya. Dia telah menyucikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan laksana kristal, mengkilap seperti sebuah cermin, memperlihatkan realitas dari seluruh hal penting dari kehidupan sehari-hari, tanpa memerlukan tindakan ekstenal dari sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan bagi kehidupannya dan untuk kehidupan orang-orang yang ada disekelilingnya.
4. Menyendiri di tengah Keramaian (“khalwat dar anjuman”)
“Khalwat” berarti menyendiri. Itu artinya secara lahir bersama dengan orang-orang disekelilingnya sementara secara bathin bersama Allah. Terdapat juga 2 buah kategori “khalwat”. Pertama adalah “khalwat” lahir dan kedua “khalwat” bathin.
Penyendirian lahir memerlukan saalik untuk menyendiri dalam sebuah tempat pribadi yang tidak ada seorang pun. Tinggal sendirian, berkonsentrasi dan meditasi pada Dzikrullah -mengingat Allah- supaya meraih sebuah keadaan dimana Kerajaan Surgawi menjelma. Ketika kau mengekang indera-indera lahir, maka indera-indera bathinmu akan menjadi bebas dalam meraih Kerajaan Surgawi. Ini akan membawamu ke kategori kedua: penyendirian bathin.
Penyendirian bathin berarti menyendiri ditengah keramaian orang. Disitulah kalbu saalik akan hadir bersama Tuhan-nya dan absen dari makhluk sementara tubuh fisiknya berada ditengah-tengah mereka. Dikatakan, ‘Saalik akan begitu tenggelam dalam dzikir diam dihatinya, bahkan jika dia memasuki ke dalam kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan dzikirnya telah menguasai dia. Perwujudan (tajalli) Hadirat Illahiah menarik dan membuatnya tidak sadar dengan segala hal kecuali Tuhan-nya. Inilah posisi tertinggi dalam khalwat, dan keadaan ini dianggap sebagai khalwat yang benar, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci Al Qur’an: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [An Nuur 24:37]. Inilah cara Thariqah Naqsybandi.
Penyendirian yang utama dari syaikh Thariqah Naqsybandi adalah penyendirian bathin. Mereka bersama Tuhan mereka dan secara bersamaan bersama orang-orang. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Sang Nabi , “Aku mempunyai 2 buah sisi: satu muka menghadap Pencipta-ku dan yang lainnya menghadap makhluk.” Shah Naqsyband menekankan kebaikan dalam berkumpul (majelis) ketika beliau mengatakan: Thariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jam’iyyat (“Jalan kita adalah Kebersamaan, dan Kebaikan berada dalam Kebersamaan”).
Dikatakan bahwa seseorang yang beriman yang dapat bergaul dengan orang lain dan mengangkat kesulitan mereka adalah lebih baik daripada seseorang yang menjauhkan diri dari orang lain. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani pernah berkata,
“Hendaknya dikatehui bahwa saalik pada awalnya mungkin menggunakan penyendirian lahir untuk mengisolasi diri dari orang-orang, beribadah dan berkonsentrasi kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai dia meraih suatu tahap yang lebih tinggi. Pada saat itu dia akan dianjurkan oleh Syaikhnya, dalam ucapan dari Sayyid al-Kharraz, ‘Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan menakjubkan, tapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang-orang, berjual beli, menikah dan mempunyai anak; dan tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah walau pun hanya sekejab.”
5. Dzikir Utama (“yad kard”)
Makna dari ‘Yad’ adalah Dzikir. Makna dari ‘kard’ adalah esensi Dzikir. Saalik harus melakukan dzikir dengan penyangkalan (negasi) dan penerimaan (afirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan tafakur (perenungan) dikalbunya (muraqaba). Keadaan tersebut akan diraih dengan membaca penyangkalan (LA ILAHA) setiap hari dnd penerimaan (ILLALLAH) pada lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan dari kalbunya elemen-elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Dzikir ini memoles kalbu dan membawa saalik ke keadaan Perwujudan (tajalli). Dia harus menjaga dzikir harian itu, baik dengan kalbu atau pun dengan lidah, mengulang-ulang ALLAH, nama Dzat Tuhan yang meliputi semua nama lain dan Atribut-atribut, atau dengan penyangkalan dan penerimaan melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Dzikir harian ini akan membawa saalik ke keadaan kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad (Dia-lah Allah yang Maha Esa).
Dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan, dalam tata cara Syaikh Sufi Naqsybandi, dituntut agar saalik menutup mata, menutup mulut dan mengigit gigi, melekatkan lidah dilangit-langit mulut, dan menahan nafas. Dia harus melafalkan dzikir melalui kalbu, dengan penyangkalan dan penerimaan, dimulai dengan kata LA (“Tidak”). Dia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusar naik ke otaknya. Sampai di otak kata “Tidak” ini dikeluarkan dengan kata ILAHA (“tuhan”), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbunya dengan ILLALLAH (“kecuali Allah”). Bila kata itu menabrak kalbu, energi dan panasnya akan memancar ke seluruh bagian tubuh. Saalik yang telah menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, menerima dengan kalimat ILLALLAH bahwa seluruh yang ada telah hilang, lenyap dalam Hadirat Illahiah.
Saalik mengulangi ini dengan setiap nafas, hirup dan hembuskan, selalu membuat nafas mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang diinstruksikan oleh Syaikhnya. Saalik secara berkala akan mencapai keadaan dimana dalam satu nafas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH sebanyak 23 kali. Seorang Syaikh sejati dapat mengulangi LA ILAHA ILLALLAH dalam jumlah tidak terhitung dalam setiap nafas. Arti dari praktek ini adalah bahwa tujuan satu-satunya hanya Allah dan bahwa tiada tujuan lain bagi kita. Untuk melihat Hadirat Illahiah sebagai satu-satunya yang Ada akan dimasukkan ke dalam kalbu murid kecintaan terhadap Sang Nabi dan pada saat itu dia mengucap, MUHAMMADUN RASULULLAH (“Muhammad adalah Rasul Allah”) yang merupakan jantung dari Hadirat Illahiah.
6. Kembali ("baz gasht")
Ini adalah sebuah keadaan dimana saalik yang melakukan dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan sampai pada tahap memahami kalimat Sang Nabi Suci , ilaahi anta maqshuudi wa ridhaaka mathluibi (“Ya Allah, Engkau-lah puncak tujuanku dan hanya ridha-Mu yang kumohon.”). Pembacaan kalimat ini akan menaikkan kesadaran saalik dalam Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai suatu keadaan dimana semua ciptaan lenyap dari matanya. Semua yang dia lihat, kemana pun dia memandang, adalah Allahu Ahad (Allah yang Maha Esa). Murid Naqsybandi membaca dzikir macam ini untuk menyaring dari kalbu mereka rahasia Ke-Esa-an, dan untuk membuka diri mereka ke Realitas Unik dari Hadirat Illahiah. Pemula tidak mempunyai wewenang untuk meninggalkan dzikir ini jika dia tidak menemukan kekuatan dzikir muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca dzikir ini dengan mengikuti Syaikhnya, karena Sang Nabi pernah berkata, “Barang siapa meniru suatu golongan maka dia akan menjadi bagian dari golongan tersebut.” Dan barang siapa meniru gurunya maka suatu hari akan ditemukan rahasia ini dibuka dalam kalbunya.
Makna dari kalimat “baz gasht” adalah kembali kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kausa dengan memperlihatkan kepasrahan penuh dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan ke-tawadhu’-an penuh dalam menyampaikan semua pujian bagi-Nya. Inilah alasan Sang Nabi Suci menyebutkan dalam do’anya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah”). Saalik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam dzikirnya, dan tidak bisa mengungkapkan Rahasia-rahasia dan Atribut-atribut Allah dalam dzikirnya, jika dia tidak melakukan dzikir dengan Dukungan Allah dan jika Allah tidak mengingatnya. Sebagaimana Bayazid katakan: “Ketika aku mencapai Dia, aku melihat bahwa Dia mengingatku lebih dulu daripada ingatanku kepada-Nya.” Saalik tidak dapat melakukan dzikir dengan sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa justru Allah-lah yang sedang melakukan dzikir melalui hamba-Nya itu.
7. Perhatian (“nigah dasht”)
“Nigah” berarti pandangan. Artinya bahwa saalik harus memperhatikan kalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran-pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan menghalangi masuknya kalbu bergabung dengan Illahi. Ini diakui dalam Naqsybandiyya bahwa bagi seorang saalik dapat melindungi kalbunya dari kecenderungan buruk selama 15 menit saja merupakan sebuah pencapaian besar. Untuk ini dia akan dipertimbangkan sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk melindungi kalbu dari pikiran-pikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan 2 buah tujuan ini akan mengerti kalbunya, dan barang siapa mengetahui kalbunya maka akan mengenal Tuhan-nya. Sang Nabi Suci berkata, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhan-nya.”
Seorang Syaikh Sufi berkata, “Karena aku melindungi kalbuku selama 10 malam, kalbuku melindungiku selama 20 tahun.”
Abu Bakr al-Qaittani mengatakan, “Aku adalah penjaga pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membuka kalbuku bagi siapapun juga kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, “Sudah 40 tahun Allah telah melihat kalbuku dan mendapati bahwa tidak ada seorang pun kecuali Dia. Dan memang tidak ada ruang dalam kalbuku tersisa bagi selain Allah.”
8. Mengumpulkan Lagi (“yada dasht”)
Artinya bahwa pembaca dzikir melindungi kalbunya dengan penyangkalan dan penerimaan dalam setiap nafas tanpa meninggalkan Hadirat Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Hendaknya saalik menjaga kalbunya dalan Hadirat Illahiah secara terus menerus. Hal ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Dzat yang Unik dari Allah(anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Dia kemudian akan membuang 3 dari 4 buah bentuk pikiran, yaitu: pikiran egois, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, seraya mempertahankan dan membenarkan hanya bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan membimbing saalik menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua imajinasinya dan hanya merengkuh Realitas yaitu Ke-Esa-an Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai 4 orang khalifah. Pertama adalah Syaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Wali Terbesar”), Syaikh Arif Awliya al-Kabir (q.s). Berasal dari Bukhara, beliau merupakan seorang ulama besar dalam Ilmu lahir dan bathin. Khalifah ketiga adalah Syaikh Sulaiman al-Kirmani (q.s). Khalifah keempat adalah ‘Arif ar-Riwakri (q.s). Kepada khalifah keempat inilah ‘Abdul Khaliq (q.s) mewariskan Rahasia Rantai Emas sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H.
. . . . .
Ibn ‘Ata’Allah.
Beliau dikenal sebagai Syaikh Penuh Keajaiban, Seseorang yang Bersinar Bagaikan Matahari, dan Syaikh maqam-maqam spiritualitas yang tinggi pada zamannya. Beliau adalah seseorang yang Berilmu Sempurna (‘arif kamil) dalam sufisme dan pencapaian dalam asketisme. Beliau dianggap Sumber Thariqah Sufi Terhormat ini dan Mata Air Khwajagan (Syaikh Asia Tengah).
Ayah beliau adalah Syaikh ‘Abdul Jamil, seorang ulama paling terkenal pada masa Bizantin dalam pengetahuan lahir dan bathin. Ibu beliau seorang putri, anak dari Raja Seljuk Anatolia.
‘Abdul Khaliq dilahirkan di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara dimasa sekarang dikenal sebagai Uzbekistan. Disana beliau menetap, meninggalkan hidupnya dan dimakamkan. Beliau adalah seorang keturunan Imam Malik (r). Dimasa kanak-kanak beliau mempelajari Qur’an dand tafsir-nya (penjelasan), ‘ilm al-Hadits (Ilmu tentang tingkah laku Kenabian), ilmu bahasa Arab, ilmu Hukum bersama Syaikh Sadruddin. Setelah menguasa Syari’ah (ilmu perundang-undangan Islam) beliau bergerak ke jihad an-nafs (perjuangan spiritual), hingga beliau meraih sebuah maqam tinggi kemurnian. Kemudian beliau pindah ke Damaskus, disana beliau membangun sebuah sekolah yang darinya banyak murid telah lulus. Satu per satu murid menjadi seorang ahli fiqih dan hadist sebaik dalam spiritualitas, keduanya di wilayah Asia Tengan yang dikenal sebagai Timur Tengah.
Pengarang buku al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau mencapai maqam tinggi bersama Rantai Emas: “Beliau bertemu dengan Khidr (as) dan menemaninya. Beliau mengambil pengetahuan surgawi dari Khidr (as) dan menambahkannya ke pengetahuan spiritual yang beliau peroleh dari Syaikhnya, yaitu Yusuf al-Hamadani.
“Satu hari ketika beliau sedang membaca Kitab Suci Al Qur’an dihadapan Syaikh Sadruddin, beliau menjumpai ayat berikut: “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al A’Raaf 7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk meminta keterangan kepada Syaikh Sadruddin mengenai realitas dari dzikir diam dan metodanya. Pertanyaan ‘Abdul Khaliq adalah: “Dalam dzikir keras kau harus menggunakan lidah dan orang lain mungkin akan mendengar dan melihatmu, sementara dalam dzikir diam hati setan mungkin akan memperhatikan dan melihatmu, sejak Sang Nabi berkata dalam hadist suci beliau: ‘Setan bergerak bebas dalam vena (pembuluh darah) dan urat nadi (arteri) Anak-anak Adam.’ Lalu apakah, wahai Syaikh Sadruddin-ku, realitas dari ‘Seruan dalam kesunyian dari kalbu-kalbumu?’ Syaikh beliau menjawab, ‘Wahai putraku, ini tersembunyi, pengetahuan surgawi, dan aku berharap bahwa Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa mengirimkan kepadamu salah seorang wali-Nya untuk memberikan inspirasi pada lidah dan kalbumu tentang realitas dari rahasia dzikir.’
“Sejak saat itu Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani menunggu terkabulnya do’a tersebut. Satu hari beliau bertemu dengan Nabi Khidr (as) yang memberitahukan, ‘Kini, putraku, aku telah diberi izin dari Sang Nabi untuk memberi inspirasi pada lidah dan kalbumu tentang dzikir tersembunyi dan jumlahnya.’ Nabi Khidr (as) memerintahkan beliau untuk mencelupkan diri ke dalam air dan mulai melakukan dzikir ini dalam kalbunya, yaitu LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH. Beliau melaksanakan bentuk dzikir ini setiap hari sampai Cahaya Illahiah, Kebijakan Illahiah, Kecintaan Illahiah dan Hiburan Illahiah dibukakan di kalbunya. Karena karunia-karunia itu, orang-orang mulai tertarik kepada ‘Abdul Khaliq dan mencari untuk mengikuti langkah-langkah beliau, dan beliau membawa mereka untuk mengikuti langkah-langkah Sang Nabi .
“Beliau adalah orang pertama dari Thariqah Sufi terhormat ini yang menggunakan Dzikir Diam dan dianggap sebagai Tuan dari bentuk dzikir tersebut. Ketika Syaikh spiritual beliau yaitu al-Ghawth ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani, datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktu untuk melayani Syaikhnya. ‘Abdul Khaliq berbicara mengenai Syaikhnya, ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syaikh Yusuf al-Hamadani memerintahkan Khidr (as) untuk tetap menaikkan dan mengawasiku hingga aku tiada.”
Syaikh Muhammad Parsa, seorang teman dan penulis riwayat hidup Shah Naqsyband, menulis dalam bukunya yang berjudul Faslul-Kitab, bahwa metoda Khwaja ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani dalam berdzikir dan ajaran beliau yaitu 8 Prinsip telah digunakan dan diserukan oleh seluruh 40 thariqah sebagaimana jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Sang Nabi , dengan meninggalkan bid’ah dan secara seksama melawan nafsu-nafsu rendah. Karenanya beliau menjadi Master dizamannya dan yang Pertama dalam garis spiritualitas ini.
Reputasi beliau sebagai seorang yang telah memperoleh Master spiritual menjadi tersebar luas. Para pengunjung biasa berkerumun untuk melihat beliau dari setiap arah. Beliau mengumpulkan murid-murid yang setia dan tulus disekitarnya yang sedang beliau latih dan ajari. Dengan kehormatan ini, beliau menulis sebuah surat kepada putranya yaitu al-Qalb al-Mubarak Shaykh Awliya al-Kabir, untuk memerinci tingkah laku para pengikut Thariqah ini. Disebutkan:
“Wahai puteraku, aku mendorongmu untuk memperoleh pengetahuan dan tingkah laku yang benar dan takut kepada Allah. Ikutilah langkah-langkah Salaf yang shaleh (generasi awal). Pegang erat Sunnah Sang Nabi , dan bergaullah dengan orang-orang beriman yang tulus. Bacalah ilmu hukum dan kisah kehidupan Sang Nabi dan tafsir Qur’an. Jangan pedulikan penipu-penipu, dan jagalah ibadah dalam urutannya. Waspada terhadap ketenaran dan bahayanya. Beradalah ditengah-tengah orang-orang biasa dan tidak menjadi jabatan. Jangan masuki persahabatan dengan para raja dan anak-anak mereka tidak juga dengan para pelaku bid’ah. Tetap diam, jangan makan dan jangan tidur secara berlebihan. Berlarilah dari orang-orang seperti kau akan lari dari macan-macan. Tetap melakukan khalwat. Makanlah makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang menimbulkan keragu-raguan kecuali dalam keadaan yang mendesak. Menjauhlah dari kecintaan terhadap dunia bawah karena itu akan sangat menarik hatimu. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menyebabkan matinya kalbu. Jangan memalukan siapa pun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang. Jangan meminta kepada siapa pun kecuali Allah. Jangan meminta orang untuk melayanimu. Layanilah Syaikh-Syaikhmu dengan uang dan kekuatanmu dan jangan mengkritik tingkah laku mereka. Siapa pun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena dia tidak mengerti mereka. Buatlah perbuatanmu tulus dengan berniat hanya untuk Allah. Do’akan Dia dengan kerendah hatian (tawadhu’). Buatlah hukum bagi urusanmu, masjid, rumah, Shahabat dan Tuhan-mu.”
Prinsip Thariqah Naqsybandi
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butiran-butiran renungan berikut yang kini dianggap sebagai Prinsip Thariqah Sufi Naqsybandi:
1. Bernafas Secara Sadar (“Hosh dar dam”)
Hosh berarti “pikir”. Dar berarti “dalam”. Dam berarti “nafas”. Artinya, berdasarkan ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q.s), bahwa”
“Pencari/pejalan/murid yang bijak harus melindungi nafasnya dari kealpaan, menarik dan menghembuskan nafas, dengan itu menjaga kalbunya selalu berada dalam Hadirat Allah; dan dia harus menghidupkan nafasnya dengan pengabdian dan penghambaan dan mempersembahkan penghambaan tersebut kepada Tuhan-nya penuh dengan kehidupan/kegairahan, karena setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadirat itu adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Illahi. Setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan dengan kecerobohan adalah mati, terputus dari Hadirat Illahi.”
Ubaidullah al-Ahrar (q.s) berkata, “Misi paling penting bagi para pencari (saalik) dalam Thariqah ini adalah untuk melindungi nafasnya, dan dia yang tidak bisa menjaga nafasnya, baginya akan dikatakan, ‘dia telah kehilangan dirinya.’ “
Shah Naqsyband (q.s) berkata, “Thariqah ini dibangun di atas nafas. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi setiap orang untuk melindungi nafasnya pada waktu menarik dan menghembuskan dan selanjutnya, untuk melindungi nafasnya dalam interval (jangka waktu) antara menarik dan menghembuskan nafas.”
Syaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal, “Dzikir mengalir dalam setiap tubuh makhluk hidup oleh keharusan bernafas -bahkan tanpa berniat sekali pun- sebagai satu tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka.
Melalui nafas, bunyi huruf “Ha” dari Asmaul Husna Allah dibuat dalam setiap tarikan dan hembusan nafas dan itu adalah sebuah tanda Dzat Tidak Terlihat dalam melayani penitik beratan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu menghadirkan nafas, supaya merasakan Dzat Sang Pencipta.”
Nama ‘Allah’ yang melingkupi 99 buah Nama-nama dan Atribut-atribut terdiri dari 4 huruf, yaitu Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Kaum Sufi menyebutkan bahwa kemutlakan Dzat tidak nampak dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa diekspresikan oleh huruf terakhir yang dihidupkan oleh Alif, yaitu “Ha.” Huruf ini mewakili Kemutlakan Dia yang Tidak Nampak (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta’rif) dan Lam kedua adalah untuk penitik beratan (mubalagha).
Melindungi nafasmu dari kecerobohan akan menuntunmu kepada Hadirat-Nya secara utuh, dan Hadirat-Nya yang utuh tersebut akan menuntunmu kepada Penglihatan utuh, dan Penglihatan utuh akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) dari 99 Asmaul Husna Allah. Allah akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) 99 Nama-nama dan Atribut-atribut-Nya dan seluruh Atribut-Nya yang lain, karena dikatakan, ‘Atribu-atribut Allah adalah sebanyak nafas ummat manusia.”
Ini harus diketahui oleh semua orang bahwa menyelamatkan nafas dari kecerobohan adalah suatu yang sulit bagi para saalik. Oleh karena itu mereka harus melindunginya dengan mencari pengampunan (istighfar) karena mencari pengampunan akan menyucikan dan mempersiapkan para saalik untuk Perwujudan (tajalli) Sesungguhnya dari Allah yang berada dimana-mana.
2. Perhatikan Langkahmu (“Nazar bar qadam”)
Artinya bahwa para saalik sewaktu berjalan hendaknya harus menjaga pandangan tertuju kepada kakinya. Kemana pun kakinya melangkah, pandangan mata harus tetap disana. Dia tidak diperkenankan untuk melemparkan pandangan ke sana sini, melirik ke kanan atau kiri atau ke depannya, karena pemandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbu. Kebanyakan tabir di kalbu diciptakan oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata ke pikiran selama menjalani kehidupan sehari-harimu. Hal ini dapat saja mengangggu kalbu dengan guncangan karena berbagai jenis keinginan yang sudah tercetak di dalam pikiran. Bayangan-bayangan ini seperti tabir yang menutupi kalbu. Bayangan ini menghadang Cahaya Hadirat Illahiah. Inilah mengapa para wali Sufi tidak membolehkan pengikut mereka -yang sudah membersihkan kalbu melalui dzikir yang berkesinambungan- untuk melihat selain dari kaki mereka. Kalbu mereka laksana cermin yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudahnya. Gambar ini akan menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kotoran ke kalbu mereka. Jadi para saalik diperintahkan untuk merendahkan pandangan agar tidak diserbu oleh anak-anak panah setan.
Merendagkan pandangan juga merupakan suatu tanda kerendahan hati (tawadhu’); orang yang bangga dan sombong tidak pernah melihat ke kaki mereka sendiri. Itu juga satu indikasi bahwa seseorang yang mengikuti jejak langkah Sang Nabi , yang ketika berjalan tidak pernah melihat ke kanan atau kiri tapi terbiasa hanya melihat kakinya, bergerak dengan tegas dan mantap ke arah tujuannya. Ini juga suatu tanda dari ketinggian maqam bila seorang saalik tidak pernah melihat kecuali ke arah Tuhan-nya. Seperti orang yang ingin mencapai tujuannya dengan cepat, begitu juga dengan para pencari Hadirat Illahiah Allah yang bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau kirinya, tidak juga melihat keinginan-keingian duniawi, tapi hanya melihat Hadirat Illahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q.s) mengatakan dalam surat yang ke 295 dari Maktubat beliau:
“Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Mi’raj (perjalanan mendaki) ke tingkatan yang lebih tinggi pertama-tama oleh Penglihatan, diikuti Langkah. Ketika Langkah mencapai tingkatan Ketinggian Pandangan, kemudian Pandangan akan dinaikkan ke tingkat berikutnya, dan karenanya Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Kemudian Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Dan begitulah seterusnya hingga Pandangan meraih sebuah tingkat Kesempurnaan dan ke arah itulah Langkah akan ditarik. Kita katakan, ‘Bila Langkah mengikuti Pandangan, murid sudah mencapai tingkat Kesiapan dalam mendekati Jejak Langkah Sang Nabi . Maka Jejak Langkah Sang Nabi disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah.”
Shah Naqsyband (q.s) mengatakan, “Jika kami melihat kesalahan-kesalahan teman kita, maka kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tidak seorang pun yang sempurna.”
3. Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)
Artinya perjalanan pulang ke kampung halaman. Artinya bahwa perjalanan para saalik dari dunia ciptaan menuju dunia Sang Pencipta. Ini diceritakan bahwa Sang Nabi berkata, “Aku akan mengunjungi Tuhan-ku dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik dan dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa para saalik harus melakukan perjalanan dari Keinginan yang cenderung kepada hal-hal terlarang ke Keingingan untuk Hadirat Illahiah.
Thariqah Sufi Naqsybandi membagi perjalan menjadi 2 buah kategori. Kategori pertama adalah perjalanan lahir dan yang kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan lahir adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna untu membawa dan mengarahkan ke sasaran yang dituju. Ini memungkinkan para saalik untuk bergerak ke kategori kedua, yaitu perjalanan bathin. Saalik, sekali mendapatkan seorang pembimbing yang sempurna, maka terlarang baginya untuk melakukan perjalanan lahir lainnya. Dalam perjalanan lahir terdapat banyak kesulitan yang tidak sanggup ditanggung oleh para pemula tanpa jatuh dalam perbuatan-perbuatan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan bathin memerlukan para saalik untuk meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, melempar keluar semua keinginan duniawi dari kalbunya. Dia akan dinaikkan dari sebuah keadaan yang tidak bersih ke keadaan bersih. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan bathin lainnya. Dia telah menyucikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan laksana kristal, mengkilap seperti sebuah cermin, memperlihatkan realitas dari seluruh hal penting dari kehidupan sehari-hari, tanpa memerlukan tindakan ekstenal dari sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan bagi kehidupannya dan untuk kehidupan orang-orang yang ada disekelilingnya.
4. Menyendiri di tengah Keramaian (“khalwat dar anjuman”)
“Khalwat” berarti menyendiri. Itu artinya secara lahir bersama dengan orang-orang disekelilingnya sementara secara bathin bersama Allah. Terdapat juga 2 buah kategori “khalwat”. Pertama adalah “khalwat” lahir dan kedua “khalwat” bathin.
Penyendirian lahir memerlukan saalik untuk menyendiri dalam sebuah tempat pribadi yang tidak ada seorang pun. Tinggal sendirian, berkonsentrasi dan meditasi pada Dzikrullah -mengingat Allah- supaya meraih sebuah keadaan dimana Kerajaan Surgawi menjelma. Ketika kau mengekang indera-indera lahir, maka indera-indera bathinmu akan menjadi bebas dalam meraih Kerajaan Surgawi. Ini akan membawamu ke kategori kedua: penyendirian bathin.
Penyendirian bathin berarti menyendiri ditengah keramaian orang. Disitulah kalbu saalik akan hadir bersama Tuhan-nya dan absen dari makhluk sementara tubuh fisiknya berada ditengah-tengah mereka. Dikatakan, ‘Saalik akan begitu tenggelam dalam dzikir diam dihatinya, bahkan jika dia memasuki ke dalam kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan dzikirnya telah menguasai dia. Perwujudan (tajalli) Hadirat Illahiah menarik dan membuatnya tidak sadar dengan segala hal kecuali Tuhan-nya. Inilah posisi tertinggi dalam khalwat, dan keadaan ini dianggap sebagai khalwat yang benar, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci Al Qur’an: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [An Nuur 24:37]. Inilah cara Thariqah Naqsybandi.
Penyendirian yang utama dari syaikh Thariqah Naqsybandi adalah penyendirian bathin. Mereka bersama Tuhan mereka dan secara bersamaan bersama orang-orang. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Sang Nabi , “Aku mempunyai 2 buah sisi: satu muka menghadap Pencipta-ku dan yang lainnya menghadap makhluk.” Shah Naqsyband menekankan kebaikan dalam berkumpul (majelis) ketika beliau mengatakan: Thariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jam’iyyat (“Jalan kita adalah Kebersamaan, dan Kebaikan berada dalam Kebersamaan”).
Dikatakan bahwa seseorang yang beriman yang dapat bergaul dengan orang lain dan mengangkat kesulitan mereka adalah lebih baik daripada seseorang yang menjauhkan diri dari orang lain. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani pernah berkata,
“Hendaknya dikatehui bahwa saalik pada awalnya mungkin menggunakan penyendirian lahir untuk mengisolasi diri dari orang-orang, beribadah dan berkonsentrasi kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai dia meraih suatu tahap yang lebih tinggi. Pada saat itu dia akan dianjurkan oleh Syaikhnya, dalam ucapan dari Sayyid al-Kharraz, ‘Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan menakjubkan, tapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang-orang, berjual beli, menikah dan mempunyai anak; dan tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah walau pun hanya sekejab.”
5. Dzikir Utama (“yad kard”)
Makna dari ‘Yad’ adalah Dzikir. Makna dari ‘kard’ adalah esensi Dzikir. Saalik harus melakukan dzikir dengan penyangkalan (negasi) dan penerimaan (afirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan tafakur (perenungan) dikalbunya (muraqaba). Keadaan tersebut akan diraih dengan membaca penyangkalan (LA ILAHA) setiap hari dnd penerimaan (ILLALLAH) pada lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan dari kalbunya elemen-elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Dzikir ini memoles kalbu dan membawa saalik ke keadaan Perwujudan (tajalli). Dia harus menjaga dzikir harian itu, baik dengan kalbu atau pun dengan lidah, mengulang-ulang ALLAH, nama Dzat Tuhan yang meliputi semua nama lain dan Atribut-atribut, atau dengan penyangkalan dan penerimaan melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Dzikir harian ini akan membawa saalik ke keadaan kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad (Dia-lah Allah yang Maha Esa).
Dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan, dalam tata cara Syaikh Sufi Naqsybandi, dituntut agar saalik menutup mata, menutup mulut dan mengigit gigi, melekatkan lidah dilangit-langit mulut, dan menahan nafas. Dia harus melafalkan dzikir melalui kalbu, dengan penyangkalan dan penerimaan, dimulai dengan kata LA (“Tidak”). Dia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusar naik ke otaknya. Sampai di otak kata “Tidak” ini dikeluarkan dengan kata ILAHA (“tuhan”), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbunya dengan ILLALLAH (“kecuali Allah”). Bila kata itu menabrak kalbu, energi dan panasnya akan memancar ke seluruh bagian tubuh. Saalik yang telah menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, menerima dengan kalimat ILLALLAH bahwa seluruh yang ada telah hilang, lenyap dalam Hadirat Illahiah.
Saalik mengulangi ini dengan setiap nafas, hirup dan hembuskan, selalu membuat nafas mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang diinstruksikan oleh Syaikhnya. Saalik secara berkala akan mencapai keadaan dimana dalam satu nafas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH sebanyak 23 kali. Seorang Syaikh sejati dapat mengulangi LA ILAHA ILLALLAH dalam jumlah tidak terhitung dalam setiap nafas. Arti dari praktek ini adalah bahwa tujuan satu-satunya hanya Allah dan bahwa tiada tujuan lain bagi kita. Untuk melihat Hadirat Illahiah sebagai satu-satunya yang Ada akan dimasukkan ke dalam kalbu murid kecintaan terhadap Sang Nabi dan pada saat itu dia mengucap, MUHAMMADUN RASULULLAH (“Muhammad adalah Rasul Allah”) yang merupakan jantung dari Hadirat Illahiah.
6. Kembali ("baz gasht")
Ini adalah sebuah keadaan dimana saalik yang melakukan dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan sampai pada tahap memahami kalimat Sang Nabi Suci , ilaahi anta maqshuudi wa ridhaaka mathluibi (“Ya Allah, Engkau-lah puncak tujuanku dan hanya ridha-Mu yang kumohon.”). Pembacaan kalimat ini akan menaikkan kesadaran saalik dalam Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai suatu keadaan dimana semua ciptaan lenyap dari matanya. Semua yang dia lihat, kemana pun dia memandang, adalah Allahu Ahad (Allah yang Maha Esa). Murid Naqsybandi membaca dzikir macam ini untuk menyaring dari kalbu mereka rahasia Ke-Esa-an, dan untuk membuka diri mereka ke Realitas Unik dari Hadirat Illahiah. Pemula tidak mempunyai wewenang untuk meninggalkan dzikir ini jika dia tidak menemukan kekuatan dzikir muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca dzikir ini dengan mengikuti Syaikhnya, karena Sang Nabi pernah berkata, “Barang siapa meniru suatu golongan maka dia akan menjadi bagian dari golongan tersebut.” Dan barang siapa meniru gurunya maka suatu hari akan ditemukan rahasia ini dibuka dalam kalbunya.
Makna dari kalimat “baz gasht” adalah kembali kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kausa dengan memperlihatkan kepasrahan penuh dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan ke-tawadhu’-an penuh dalam menyampaikan semua pujian bagi-Nya. Inilah alasan Sang Nabi Suci menyebutkan dalam do’anya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah”). Saalik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam dzikirnya, dan tidak bisa mengungkapkan Rahasia-rahasia dan Atribut-atribut Allah dalam dzikirnya, jika dia tidak melakukan dzikir dengan Dukungan Allah dan jika Allah tidak mengingatnya. Sebagaimana Bayazid katakan: “Ketika aku mencapai Dia, aku melihat bahwa Dia mengingatku lebih dulu daripada ingatanku kepada-Nya.” Saalik tidak dapat melakukan dzikir dengan sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa justru Allah-lah yang sedang melakukan dzikir melalui hamba-Nya itu.
7. Perhatian (“nigah dasht”)
“Nigah” berarti pandangan. Artinya bahwa saalik harus memperhatikan kalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran-pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan menghalangi masuknya kalbu bergabung dengan Illahi. Ini diakui dalam Naqsybandiyya bahwa bagi seorang saalik dapat melindungi kalbunya dari kecenderungan buruk selama 15 menit saja merupakan sebuah pencapaian besar. Untuk ini dia akan dipertimbangkan sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk melindungi kalbu dari pikiran-pikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan 2 buah tujuan ini akan mengerti kalbunya, dan barang siapa mengetahui kalbunya maka akan mengenal Tuhan-nya. Sang Nabi Suci berkata, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhan-nya.”
Seorang Syaikh Sufi berkata, “Karena aku melindungi kalbuku selama 10 malam, kalbuku melindungiku selama 20 tahun.”
Abu Bakr al-Qaittani mengatakan, “Aku adalah penjaga pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membuka kalbuku bagi siapapun juga kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, “Sudah 40 tahun Allah telah melihat kalbuku dan mendapati bahwa tidak ada seorang pun kecuali Dia. Dan memang tidak ada ruang dalam kalbuku tersisa bagi selain Allah.”
8. Mengumpulkan Lagi (“yada dasht”)
Artinya bahwa pembaca dzikir melindungi kalbunya dengan penyangkalan dan penerimaan dalam setiap nafas tanpa meninggalkan Hadirat Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Hendaknya saalik menjaga kalbunya dalan Hadirat Illahiah secara terus menerus. Hal ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Dzat yang Unik dari Allah(anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Dia kemudian akan membuang 3 dari 4 buah bentuk pikiran, yaitu: pikiran egois, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, seraya mempertahankan dan membenarkan hanya bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan membimbing saalik menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua imajinasinya dan hanya merengkuh Realitas yaitu Ke-Esa-an Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai 4 orang khalifah. Pertama adalah Syaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Wali Terbesar”), Syaikh Arif Awliya al-Kabir (q.s). Berasal dari Bukhara, beliau merupakan seorang ulama besar dalam Ilmu lahir dan bathin. Khalifah ketiga adalah Syaikh Sulaiman al-Kirmani (q.s). Khalifah keempat adalah ‘Arif ar-Riwakri (q.s). Kepada khalifah keempat inilah ‘Abdul Khaliq (q.s) mewariskan Rahasia Rantai Emas sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H.
. . . . .
Comments
Post a Comment