Khwajah As Syaikh Ali ar-Ramitani

“Tidak ada hal seperti patah hati yang dapat memalingkan aku dari Kau;
Dalam kebenaran, dariku kepada engkau, seluruh sel ditubuhku adalah hati. “
Abu Bakr ash-Shibli.
Beliau adalah seorang Bendera Mulia Islam dan seorang ulama besar yang membuka kunci-kunci ke harta karunnya hati dan menjelaskan rahasia-rahasia dari yang tidak terlihat. Beliau menerima dari Kerajaan Orang-orang yang Mengetahui, Dermawan dan Ganjaran dan Kehormatan. Beliau membimbing mereka yang membutuhkan ke maqam Pengetahuan Spiritual. Nama beliau terbang tinggi ke langit Pembimbing, dan disana tiada kata untuk mengekspresikan pengetahuan dan tidak juga maqam beliau. Bagi kita beliau mungkin bisa dijelaskan, seperti Ummul Kitab (Kitab Suci Al Qur’an), sebagai “seseorang yang ditulis dalam maqam yang dinaikkan.”
Beliau lahir di desa Ramitan, sekitar 2 mil dari Bukhara. Beliau tinggal disana dan gemar dalam mempelajari pengetahuan Hukum Illahi (syari’ah), hingga beliau mencapai kemasyuran dalam Ilmu-ilmu Hadits, Al Qur'an, Ilmu Hukum (Fiqh), dan Suri Teladan dari Sang Nabi (Sunnah). Beliaulah seorang yang dijadikan referensi (marja’) bagi setiap orang yang menanyakan mengenai keputusan-keputusan resmi (fatawa).
Kemudian beliau menghubungi Syaikh Mahmad al-Anjir al-Faghnawi untuk memperoleh bimbingan spiritual. Dalam hadirat Sang Syaikh, beliau dinaikkan hingga ke maqam-maqam tinggi dari Perwujudan (tajalli) Cinta Illahi dan Hadirat Illahi. Beliau menjadi dikenal dan tenar dengan sebutan Azizan, sebuah kata dalam bahasa Persi yang digunakan bagi seseorang di maqam yang dinaikkan. Berikut adalah beberapa untaian hikmah dari beliau:
• “Lakukan dan jangan menghitung. Akui semua kekuranganmu dan lanjutkan bekerja.”
• “Capailah Hadirat Illahi, khususnya ketika kalian sedang makan dan ketika sedang berbicara.”
• “Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi berfirman dalam Kitab Suci Al Qur’an-Nya, “Wahai orang-orang Beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang tulus.” Ayat ini memberi kita kabar gembira. Sejak Allah meminta pengampunan (taubat), artinya Dia akan menerimanya karena jika dia tidak akan menerima taubat kalian, maka Dia tidak akan menyuruh kalian melakukan taubat.”
• “Sang Nabi bersabda, ‘Allah melihat hati orang-orang Beriman setiap malam dan siang sebanyak 360 kali.’ Artinya bahwa hati mempunyai 360 buah pintu masuk. Dan setiap organ mempunya 360 buah akar yang kesemuanya berhubungan dengan hati. Jadi jika hati dibawah pengaruh Dzikrullah, akan membimbing ke maqam Pandangan Allah, ini akan membimbing seluruh organ tubuh ke Pandangan Allah. Sebagai hasilnya, setiap organ akan mematuhi Allah dan dari cahaya tersebut kepatuhana setiap organ akan terhubung ke Curahan Illahiah. Inilah yang menggambarkan Pandangan Kasih Sayang dari Allah kepada hati orang-orang yang Mengingat.”
Lebih Lanjut Kontroversi dalam Dzikir dengan Suara Keras
Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar pada masanya bertanya kepada beliau, “Mengapa kau menaikkan suaramu dalam ber-dzikir?” Syekh ‘Ali (q.s) menjawab:
“Wahai saudaraku, ulama-ulama Musliam diseluruh abad, dari masa Tabi’in (generasi pengikut para Shahabat ) hingga hari ini, telah meberi izin dzikir dengan suara keras dalam saat-saat terakhir kehidupan. Pada waktu itu siapa saja yang sekarat ditantang untuk mengulangi pernyataan keimanan. Sang Nabi pernah berkata, laqqina mawtakum syahadatan LA ILAHA ILLALLAH (“buatlah saat sekarat kau mengucap: Tiada Tuhan selain Allah“). Dalam Ilmu Kesufian, kaum ulama sudah menitik beratkan bahwa setiap kesempatan bisa jadi menjadi kesempatan terakhirmu. Hal ini mengarahkan kesimpulan bahwa kau dapat mengucap LA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras pada setiap kesempatan dalam hidup.”
Beliau pernah ditanya oleh Syaikh Mawlana Badruddin al-Midani, seorang ulama besar dimasanya, “Allah telah memerintah kita dalam Kitab Suci Al Qur’an untuk melakukan dzikir sebanyak-banyaknya sebagaimana Dia katakan, “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” [al Ahzab 33:41]. Apakah dzikir itu dilakukan dengan lidah atau dengan hati?” Syaikh ‘Ali Ramitani (q) menjawab:
“Bagi para pemula yang terbaik adalah dilakukan dengan lidah, dan bagi yang telah mahir yang terbaik adalah dilakukan dengan hati.” Beliau melanjutkan, “Ini karena bagi para pemula untuk menginggat Allah dia harus berkutat dengan usaha yang teramat besar. Sejak hatinya kacau dan tidak stabil sehingga usaha yang dia lakukan terpecah belah, lebih baik baginya untuk melakukan dzikir dengan lidah. Tetapi bagi yang mahir yang hatinya sudah dipoles dan lebih mudah terpengaruh oleh dzikir. Semua organnya menjadi Para Pengingat sehingga seluruh tubuh orang yang mahir, baik lahir maupun bathin mengingat Allah dalam setiap kesempatan. Perbandingan ini adalah satu hari dzikir orang yang sudah mahir sama dengan satu tahun dzikir bagi para pemula.”
Beliau melanjutkan,
“Tugas seorang pembimbing adalah yang pertama mengetahui kemampuan para pencari (saalik). Kemudian dia akan meletakkan diatas lidahnya metode dzikir paling sempurna untuk menaikkannya ke maqam tertinggi.”
“Jika ada dimuka bumi salah seorang pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani pada masa Hallaj, Hallaj tidak akan dihukum pasung.” Artinya bahwa pada saat itu tidak ada seseorang yang berkemampuan untuk membela Hallaj dari tuduhan-tuduhan mereka.
Syaikh Fakhruddin an-Nuri, seorang ulama lain yang terkenal dimasa beliau, pernah bertanya, “Allah menyebutkan dalam Kitab Suci Al Qur'an bahwa saat Hari Perjanjian Dia bertanya, Alastu bi Rabbikum, qala bala [Al A’raaf 7:172] (“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami)”), sedang pada Hari Perhitungan Dia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [Al Mu’min 40:16] (‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?’) dan tidak seorang pun akan menjawab. Mengapa mereka menjawab pertanyaan ini, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ sedangkan pada Hari Perhitungan mereka tidak menjawab?” Dalam menjawab pertanyaan ini, Syaikh Ali Ramitani (q.s) menunjukkan kedalaman yang mengagumkan dalam memahami Kitab Suci Al Qur'an dan Hadits Suci yang dimiliki oleh Para Pemimpin Naqsybandi. Beliau berkata:
“Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ diberikan kepada ummat manusia, itu adalah hari Allah meletakkan kewajiban-kewajiban Hukum Suci diseluruh manusia. Untuk menjawab ketika ditanyakan sebuah pertanyaan adalah sebuah kewajiban dibawah naungan Hukum. Itulah mengapa mereka menjawabnya. Begitulah pada Hari Perhitungan, seluruh kewajiban yang ada berakhir, dan pada kesempatan itu, kesadaran akan Kebenaran dan dunia spiritual dimulai. Dalam spiritualitas tidak ada ucapan lebih baik dari keheningan, karena spiritualitas adalah sebuah aliran dari dan menuju ke hati, tidak berhubungan dengan lidah. Itulah kenapa pertanyaan kedua tidak diperlukan untuk memberikan jawaban. Allah sendirilah yang menjawab pertanyaan-Nya, yaitu ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? ', lillah il-Wahid il-Qahhar, ‘Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’ “
Upon menerima sebuah perintah surgawi beliau pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika tiba di Khwarazm, beliau tidak masuk ke kota namun diam di gerbangnya dan mengirim kurir ke raja untuk memberitahu, “Seorang penenun miskin sudah datang untuk memasuki kerajaanmu dan berniat akan tinggal. Apakah kau memberikan ijin atau tidak? Jika kau memberikan ijin, maka dia akan masuk. Jika tidak dia akan kembali.” Beliau meminta si kurir untuk memperoleh sebuah surat tertulis yang ditanda tangani oleh raja, yang isinya memberikan ijinnya. Ketika menerima surat tersebut, Sang Syaikh pun masuk ke dalam kota dan mulai menyebarkan Jalan Sufi Naqsybandi. Setiap hari beliau datang ke pusat kota, berbicara dengan orang-orang, meminta mereka datang ke asosiasinya dan membayar upah mereka untuk hari itu. Beliau membuat seluruh kota menjadi pengikut, para penyembah yang shaleh, dan mendedikasikan para penjaga pengingat Allah. Beliau menjadi sangat tenar di kota. Orang-orang biasa mengunjungi beliau dari seluruh pelosok. Reputasi yang baik membuat raja dan para menteri takut akan pengaruh beliau terhadap masyarakat. Mereka berusaha mengusirnya dari kota. Mengetahui kejadian ini terlebih dulu, beliau mengirimkan kembali surat ijin ke raja. Raja lalu datang ke Syaikh dan meminta maaf, meminta beliau mengampuninya. Raja kemudian menjadi salah satu murid terdepan.
Shaykh Ali wafat pada hari Senin, 18 Dzul Qa'idah tahun 715 H/1315 M atau 721 H/1321 M, dalam usia 130 tahun.
Beliau mempunyai 2 orang putri yang sangat terkenal dalam mengikuti langkah-langkah ayah mereka. Meski pun begitu, beliau tidak meneruskan rahasia kepada keduanya. Sebaliknya, beliau meneruskan kepada Syaikh Muhammad Baba as-Samasi (q.s).

. . . . .
Get Adobe Flash player
InstaForex

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Doa Faraj Nabi Khidir AS

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani