Kambing menghukumi kambing

by: Galang Swatantra Ekajati


Kambing adalah binatang piaraan yang paling susah di ‘angon’. Setidaknya itu kata mbah Dul dalam obrolan di teras surau kampung kami ba’da sholat isya’ waktu itu. “Kambing itu jika kamu tarik ke belakang, misalnya supaya tidak makan tanaman tetangga, dia akan ‘mberot’ ke depan. Dan sebaliknya kalau kamu ‘geret’ ke depan, misalnya supaya dia mau bergerak maju, maka dia akan ‘mberot’ ke belakang”. Mbah Dul menerangkan dengan antusiasnya yang khas. Selaruh kampung mengenal Mbah Dul ini selain sebagai tukang ngawinin orang alias penghulu, dia juga telah berpengalaman puluhan tahun dalam dunia ‘angon’ kambing.


“Lah…kemudian apa kaitannya dengan tema kita hari ini mbah?” aku mencoba bertanya setelah tak menemukan korelasi tema dngan obrolan. Kemudian kang Marto ‘becak’ dan kang Sumadi ‘jembut’ yang ikut serta mendengarkan obrolan itu meningkahi hamper bersamaan, “Loh…memangnya tema kita hari ini apa toh?”.

Aku yang tergolaong paling muda diantara mereka uang masih berstatus siswa perguruan tinggi mencoba memberi keterangan, “kita sedang membicarakan fatwa haram majlis ulama itu loh kang”. Kemudian kang Sumadi menimpali, “ ohh..iya…kapan hari itu majlis ulama mengharamkan rokok, kemudian mengharamkan golput, terus sing baru ini apa kang?”, Sumadi njawil kang marto.

“Lah..aku kok mbok takoni babagan ngunu kuwi, opo aku ngerti…di..di”, kang marto menjawab setengah terbengong.

Aku menambahi, “…..pesbuk!!.”. “yaudah kita nrimo mendengarkan saja kali ini…habis ndak ngerti”, marto becak bicara sambil melirik ke kang sumadi yang disambut anggukan oleh yang bersangkutan. Mbah Dul yang dari tadi melihat tingkah kami cuma tersenyum.

“Lanjutkan mbah?” kataku.

“Islam itu menganjurkan pemeluknya untuk memiliki kualitas intelektualitas yang tinggi. Islam sangat mendorong pemeluknya untuk berilmu”, tutur mbah Dul yang lulusan pondokan itu. “islam mengenal ahli sejarah sekaliber Muhammad bin Ishaq, Muhammad bin Sa’ad, Abu Ja’far ath Thabari serta Muhammad bin Umar Al Waqiqi. Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan sejarah yang menulis sejarah kehidupan nabi Muhammad SAW dengan kualitas keadilan yang sangat tinggi, dengan semangat keobyektiafan yang akurat sengan tak sepenuhnya menyanjung dan tanpa menutupi kelemahan-kelemahan nabi Muhammad”. “Kemudian siapa yang tak kenal Muhammad bin Ismail al Bukhari dan Muslim bin Al Hajjaj al Qusyairi ilmuwan yang menguji dengan hati hati asal usul setiap hadist untuk meyakinkan kebenarannya, yang tak segan segan membuang hadist yang tidak memenuhi criteria obyektifitas keilmuan”. “kemudian siapa yang tak kenal Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali yang tak pernah sekali kali menggunakan kalimat seperti "Pendapat ini benar, sedangkan pendapat yang itu salah." Adapun kalimat yang selalu digunakan oleh mereka adalah: "Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar; Pendapat ini kuat, pendapat yang itu lemah; Dalam masalah ini ada dua pendapat atau lebih, dan seterusnya”. “Di sini kita mengenal Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau , Syaikh Hasyim Asy'ari, Oemar Said Cokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. A. Hassan, Buya HAMKA, dan sebagainya yang kita mengenal mereka adalah ulama yang dikenal ketinggian dan keluasan ilmunya”.

Mbah Dul diam sejenak. “Apa yang aku ungkapkan ini adalah ingin menunjukkan adanya toleransi yang sangat kuat terhadap perbedaan pendapat. Selain itu, hati mereka (ulama) juga lapang dari truth claim (klaim pembenaran atas pendapat diri) karena memang di dalam fiqih tidak dibenarkan adanya pengklaiman pendapat yang paling benar. Lebih-lebih, pemaksaan sebuah pendapat atau madzhab kepada siapa pun”.

Aku menyela, “pelan-pelan mbah…”. Sebenarnya aku masih bingung dengan keterangan Mbah Dul yang panjang dan lebar itu. Dan aku belum bisa menangkap kaitan yang jelas dengan fatwa majlis ulama dengan keterangan mbah Dul.

“Kamu masih bingung hubungannya?”, tak sempat kujawab mbah Dul melanjutkan, “apakah masih ada ‘ulama’ sekarang yang derajat keilmuannya minimal sama dengan ulama yang kusebut terdahulu?”. “ “Apakah masih ada tradisi ijtihad yang ketat dan kritis seperti yang dilakukan ulama terdahulu di kalangan umat islam?”.

“Terus kalau kemudian sekarang ada yang ngaku ‘ulama’ dan kemudian meng’hukum’i sesuatu hal. Dan kemudian banyak yang ngaku Muslim namun mengabaikan hokum itu. Lalu siapa yang kambing?”

Kami terdiam hening. Tak lama kang Sumadi jembut yang blantik kambing itu nyeletuk, “aku kok bingung to Mbah” sambil menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal.

Comments

Popular posts from this blog

PUCUNG: (Cuplikan Serat Wedhatama)

Sayyid As Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani

Doa Faraj Nabi Khidir AS